Rabu, 05 Juni 2013

HAM = Syahwat Politik USA



Dalam sebuah buku, Ideal Illusions — How the U.S. Government Co-Opted Human Rights, sejarawan James Peck berpendapat bahwa sejak tahun1970-an, Washington mulai menjadikan HAM sebagai senjata ideologis untuk alasan yang sebenarnya merupakan upaya memperluas pengaruh global Amerika dibandingkan dengan memajukan hak-hak asasi yang sebenarnya.
Setiap tahun sejak 1976, Departemen Luar Negeri AS telah menerbitkan laporan yang sangat detail tentang kondisi hak asasi manusia (HAM) di seluruh dunia. Yang terakhir, pada bulan April 2011 lalu, terdiri lebih dari 2 juta kata, dicetak dari website negara, menghasilkan lebih dari 7.000 halaman kertas. Laporan ini mencakup 194 negara di dunia, ya, setiap negara di dunia, kecuali satu : Amerika Serikat.
Ini jelas menimbulkan sejumlah pertanyaan. Apakah Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara di planet ini dengan rekor sempurna di bidang HAM, baik di dalam negeri ataupun di negara-negara dimana Amerika terlibat perang? Jika tidak, mengapa pemerintah Amerika merasa berhak untuk meneliti praktek-praktek hak asasi negara lain? Laporan ini banyak mengandung cacat bahkan di negara-negara yang jarang terpikirkan oleh kita dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia.
Menlu AS Hillary Clinton menggambarkan laporan tahunan itu sebagai "catatan yang paling komprehensif yang tersedia mengenai kondisi hak asasi manusia di seluruh dunia" dan menaruh perhatian terhadap detail laporan yang memang mengesankan. Bab laporan tentang negera Vanuatu, misalnya, berisi 5.000 kata, ‘deskripsi’ yang cukup banyak mengingat negeri di Pasifik itu hanya memiliki 220.000 jiwa.
Laporan tentang Indonesia sendiri terdiri dari tidak kurang 33 halaman (jika dicetak), 14.746 kata, yang mencatat cukup detil data-data pelanggaran HAM di Indonesia, yang intinya Amerika menilai pemerintah tidak memuaskan dalam persoalan HAM. (dapat dilihat di link ini : http://www.state.gov/j/drl/rls/hrrpt/2011/eap/186273.html ) *klik report-report human right-indonesia.
Darimana Amerika mempunyai laporan sedetil itu? Tentu saja dari NGO-NGO / BABU atau GUNDIK -nya, bantuan yang tersebar di seluruh dunia seperti USAID, UNDP, AUSAID, NDI, NED, termasuk dari LSM-LSM domestik di bidang HAM dan demokrasi.
# Reaksi China dan Rusia mengenai HAM #
Hanya Rusia dan China yang bereaksi dengan laporan tersebut, Rusia melontarkan kritik pedas atas laporan tahunan HAM terbaru itu dengan mengatakan ‘penuh bukti-bukti nyata penggunaan standar ganda’ dan ‘politisasi isu-isu hak asasi manusia.’
Rusia balik menuduh pelanggaran HAM pun dilakukan Amerika seperti dalam kasus penjara Guantanamo dan Bagram yang masih beroperasi walau Barrack Obama menjanjikan akan menutupnya begitu ia terpilih sebagai Presiden untuk kali pertama.
China pun tidak kalah keras dalam merespon laporan tahunan tersebut, Beijing bahkan marah dan balik menerbitkan laporan tahunan balasan yang semuanya fokus membahas Amerika Serikat. Laporan terbaru rilis hanya dua hari setelah Amerika menerbitkan laporan HAM yang menyoroti kebijakan China yang meningkatkan tekanan terhadap politisi pembangkang, aktivis HAM, jurnalis, dan pengacara.
China merespon dengan menyatakan,“Amerika Serikat mengabaikan persoalan HAM-nya sendiri dan dengan penuh semangat mempromosikan apa yang disebutnya sebagai ‘diplomasi hak asasi manusia’, menggunakan isu HAM sebagai alat politik untuk memfitnah negara-negara lain dan mengembangkan kepentingannya sendiri.”
# HAM sebagai Doktrin dan Strategi #
Laporan tahunan HAM yang dirilis Deplu Amerika yang begitu percaya diri menilai dan menghakimi kondisi HAM negara-negara lain, dan mengabaikan kasus-kasus yang dilanggarnya sendiri, membuktikan bahwa demokrasi dan HAM adalah senjata politik Paman Sam untuk mengembangkan jaringan dan pengaruhnya di dunia.
Jika anda 'terutama para penggiat HAM' masih meragukan hal tersebut, mari kita lihat pada pijakan dasar kebijakan AS, yaitu : Strategi Keamanan Nasional dan Strategi Pertahanan Nasional yang dirilis tidak lama setelah tragedi 11 September.
Berikut kutipan dari beberap sumber diambil beberapa poin penting yang menunjukkan HAM merupakan alat politik Amerika demi melanggengkan kedudukannya sebagai Polisi dan Hakim Dunia.
I. U.S. National Security Strategy,
Mempromosikan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Luar Negeri.
Amerika Serikat mendukung perluasan demokrasi dan hak asasi manusia di luar negeri karena pemerintah yang menghormati nilai-nilai yang lebih adil, damai, dan sah. Kami juga melakukannya karena keberhasilan Demokrasi dan HAM di luar negeri dapat menumbuhkan lingkungan yang mendukung kepentingan nasional Amerika.
Maka logis, demokrasi dan HAM merupakan bagian dari doktrin/konsep keamanan nasional Amerika setikat, karena dengan merebaknya rezim-rezim ‘demokrasi’ di seluruh dunia, maka itu menjadi kunci pengaman bagi kepentingan-kepentingan nasional Paman Sam.
Kita membutuhkan PBB yang mampu memenuhi tujuan para pendirinya sebagai pemelihara perdamaian dan keamanan internasional, mempromosikan kerjasama global, dan memajukan hak asasi manusia.
PBB pun menjadi alat politik Paman Sam dalam mewujudkan kemanan nasional Amerika, secara kasat mata publik sudah mengetahui bagaimana Paman Sam memperalat PBB untuk memaksakan kehendaknya kepada negara lain, seperti yang terjadi di Irak, Libya, Tunisia, Afghanistan, Palestina, Chile, Haiti, dan Suriah dengan topeng “Humanitarian Ops” Operasi Kemanusiaan.
II. U.S. National Defence Strategy
Di abad ke-21, hanya negara yang berbagi komitmen untuk melindungi hak asasi manusia dan menjamin kebebasan politik dan ekonomi, akan mampu memaksimalkan potensi rakyatnya dan menjamin kesejahteraan masa depan mereka.
Prinsip-prinsip pemerintah Amerika dalam melakukan kerja sama internasional, termasuk program-program bantuan internasional Amerika melalui berbagai lembaga pemerintahan maupun non pemerintah (NGO):
- Berbicara secara terbuka tentang pelanggaran martabat manusia dengan memanfaatkan suara negara dunia ketiga di forum-forum dunia, dan voting di lembaga internasional untuk memajukan kebebasan.
- Menggunakan bantuan asing untuk mempromosikan kebebasan dan mendukung mereka yang berjuang tanpa kekerasan untuk itu, memastikan bahwa negara-negara bergerak ke arah demokrasi menghargai langkah-langkah yang telah mereka ambil.
- Menjadikan kebebasan dan pengembangan demokrasi sebagai tema kunci dalam kami hubungan bilateral antara Kami (Amerika) dengan negara lain, mencari solidaritas dan kerjasama dari negara demokratis lainnya, sementara kita menekan pemerintah yang menolak hak asasi manusia hak bergerak menuju masa depan yang lebih baik.
- Amerika akan selalu mensyaratkan HAM dan demokrasi sebagai syarat menjalin hubungan bilateral atau menjadi sekutu (budak) Amerika. Termasuk akan memanfaatkan bantuan-bantuan asing terhadap suatu negara untuk menancapkan pengaruh atas nama HAM dan demokrasi
# Tirani Pemikiran dan Kudeta Sipil #
Pemahaman tentang HAM dan prakteknya di Indonesia pun sangat paralel dengan paradigma dasar yang mejadi pijakan politik luar negeri Amerika, mungkin ini disebabkan LSM-LSM atau aktivis HAM di Indonesia pun dimentori oleh aktivis-aktivis HAM dari Amerika.
Standar ganda dalam kasus-kasus HAM di Indonesia pun sangat kentara, ketika aktivis ELSAM mengecam pembunuhan empat orang di lapas Cebongan sebagai Extra Judicial Killing, mengapa mereka tidak mengatakan hal yang sama ketika Densus 88 membunuh TERDUGA (masih terduga,belum terbukti) teroris tanpa putusan pengadilan?
Jika diungkap, sebenarnya banyak sekali standar ganda para aktivis HAM di Indonesia, jika merujuk ke belakang, perhatikan saja kasus-kasus konflik sosial seperti Ambon 99, Poso, Mei 98, dan banyak lagi.
Amerika dalam praktek politiknya, dengan mudah menuduh negara manapun yang bertentangan sikap dengan Washington akan dituduh sebagai anti demokrasi, anti HAM, dan anti kebebasan sipil. Dan Amerika akan melakukan apa pun untuk menghancurkan negara-negara yang ‘antidemokrasi’ dengan melakukan boikot politik, embargo ekonomi, dan lainnya. Lihat saja apa yang dilakukan Paman Sam terhadap Irak, Libya, Suriah, Mesir, Tunisia,Iran, dan Venezuela. Itulah yang dimaksud “Kudeta Sipil” yaitu gerakan penggulingan pemerintahan yang sah dengan dalih anti HAM, anti demokrasi, dengan memanfaatkan kelompok-kelompok sipil, baik secara damai maupun bersenjata.
Layaknya mentor mereka, para penggiat HAM di Indonesia pun dengan mudah menuduh kelompok atau pemikiran yang mengkritisi HAM maupun demokrasi sebagai ‘anti demokrasi’ atau ‘antek orde baru’. Diakui atau tidak, mereka telah menjalankan TIRANI PEMIKIRAN yang menutup semua celah-celah kritik dan tafsiran-tafsiran dari sudut pandang yang berbeda.
Perlu diketahui, kelompok atau pihak yang mengkritisi isu-isu HAM yang digalang Amerika maupun LSM-LSM itu bukanlah sebuah sikap anti demokrasi, melainkan sebuah kontra opini dan sorotan tajam atas standar ganda penegakkan HAM (baik di dalam maupun di luar negeri). Lebih dari itu, bagi kami, isu HAM tidak lebih dari sebuah ALAT POLITIK untuk menekan suatu pemerintahan, bahkan menggulingkannya. Jadi isu HAM jauh dari niat tulus untuk memuliakan martabat anak manusia.
Kami tidak anti penegakkan HAM, jika persoalan itu benar-benar untuk menjadikan manusia sebagai satu entitas alam raya yang mulia, bermartabat, dan sederajat. Tetapi coba pikirkan lagi, untuk apa berteriak-teriak HAM jika kemudian itu hanyalah bagian dari sebuah skenario jahat untuk menekan kedaulatan sebuah negara?
Terbukti sudah, nilai-nilai universal yang dijajakan Washington sebenarnya tidak universal, bahkan kepentingan politik lebih kentara daripada pertimbangan hak asasi manusia. Setelah terjadinya aksi protes massa yang berhasil menggulingkan kekuasaan di Tunisia dan Mesir, negara-negara lain pun bereaksi terhadap pemberontakan popular yang mengalami represi dan kekerasan. Di Libya, Amerika Serikat telah berpihak secara militer dengan kelompok oposisi (yang memang dilatih oleh CIA), di Yaman, Amerika Serikat pun menyerukan agar presiden mengundurkan diri.
Tetapi anehnya, tidak ada seruan yang sama bagi para penguasa kerajaan Bahrain, dimana demonstrasi pro-demokrasi memaksa penerapan darurat militer. Lebih dari dua lusin orang dilaporkan tewas dan 400 ditangkap dalam penumpasan secara kejam yang didukung oleh Arab Saudi. Jika memang Amerika benar-benar “Rasul” dalam urusan HAM dan Demokrasi, mengapa Washington tidak menekan rezim kerajaan Bahrain atas aksi represi terhadap massa?
Di Bahrain, Amerika jelas melakukan pengecualian dalam proyek Arab Springs. Jika di LibCIA, Mesir, TuniCIA, dan SurCIAh, Amerika memberikan bantuan kepada pihak “oposisi”, di Bahrain sangat berbalik. Meski jelas Bahrain bukanlah rezim demokrasi (sama halnya dengan Saudi), tetapi Bahrain adalah kunci penting bagi AS, negara kecil itu adalah tempat pangkalan Armada Kelima Amerika yang mengawasi jalur pelayaran penting minyak.
Jika Hillary pada 8-April mengatakan soal laporan tahunan HAM itu dengan berkata, "Kami berharap bahwa laporan ini (hak asasi manusia) akan memberikan kenyamanan bagi para aktivis (Gundik USA)." Tampaknya bagi para aktivis (Gundik) prodemokrasi di Bahrain tidak demikian.
Selama masih digunakannya standar ganda dan politisasi, isu HAM tidak lebih dari penghangat hidangan kepada tuan-tuan besar yang tersenyum puas diujung meja jamuan. Selama itu pula kedaulatan akan terus digadaikan, selama itu pula martabat kita tidak lebih dari kacung-kacung adidaya.
Mari kita sama-sama selamatkan kedaulatan bangsa ini dari imperialis Amerika atas nama HAM, bubarkan Komnas HAM dan mempersempit ruang gerak LSM antek-antek Amerika. Ayo kita hantam mereka yang melemahkan Patriot-Patriot Benteng NKRI !!! Salam Korsa !!!
#NKRI Harga Mati !


Tidak ada komentar:

Posting Komentar