Minggu, 04 Mei 2014

Catatan : Korupsi Sebagai Bahaya Laten Yang Bersifat Sistemik

Pertama-tama yang terlebih dahulu harus difahami adalah korupsi bukanlah sekedar tindakan mencuri. Karena tidak ada tindakan korupsi yg dilakukkan tanpa persetujuan dari pihak lain, baik yang dikorupsi maupun yang melakukan korupsi.
Dengan kata lain korupsi selalu melibatkan sistem dan manusia secara bersamaan.
Artinya "Korupsi" selalu membutuhkan sistem, termasuk manusia yang akan menjalankannya dengan senang hati, tulus dan sesadar-sadarnya.

Sebagai contoh pada kasus "korupsi" daging sapi, korupsi disana direduksi menjadi permasalahan individual yaitu kerjaan segelintir "orang serakah dengan jubah ulama".
Di sini kemudian tuduhan korupsi tadi terasa personal dan menjadi ganjil.

Pertama dalam sistem perdagangan yang sifatnya kartel seperti daging sapi, maka para pedagang perlu menetapkan prices & level produksinya berdasarkan kompetitornya. Berapa jumlah produk yg dilepas kompetitor maka disana mereka baru menentukan batas profitnya. Itu karena permintaan tidak hanya ditentukkan oleh konsumen tetapi juga regulator seperti pemerintah, badan-kesehatan dll.. Sebab adanya trade barriers ini maka perusahaan perlu mengetahui apa yang tidak mereka ketahui berupa asymetric information, apakah akan ada UU baru atau tata kelola baru dalam perizinan atau tidak. Di sinilah kemudian birokrasi bermain dan private sektor pun bersiap dengan sogok, uang pelicin, uang bantuan perjalanan, dll demi memperoleh hak-hak eksklusif dari sertifikasi tadi.
Kedua, yang menjadi masalah adalah tidak semua orang paham bagaimana cara ini bekerja.Ketidaktahuan bagaimana "korupsi itu bekerja" yang kemudian melahirkan "pekerjaan-pekerja" berupa jasa informasi, jasa konsultasi, jasa pengawalan, jasa penghubung, jasa dengar, jasa komisi, & segala jasa yg memunculkan tokoh seperti; Fathonah, Nadzarudin, Gayus, Bunda Puteri, Punda Acih, Ayin, ayeng, Ayong, dst-dst sebagai para peluncur. Pada kasus MUI muncul nama AS an ES para broker yang menjadi penghubung luar & dalam.Mereka dibutuhkan itu karena memang ada kebutuhannya. Para Ulama, Ormas, Pejabat baru, atau klien-klien yang lugu. Sebab mereka buta dgn sistem birokrasi & bagaimana cara mereka mencetak, menyedot, menggeser, menggusur duit, yg sama sekali tdk terpikirkan.
Ketiga bahwa mereka punya jejaring dan keahlian. Pada kasus Fathanah dan Nazarudin misalnya kita melihat bahwa "para peluncur" ini bisa menyeret petinggi dan tokoh sekarismatik Lufti Hasan Ishak dari PKS, Anas dari Partai Demokrat dan sekarang ulama-ulama di MUI. Mereka mau menjadi kaki tangan dari ulama, politisi karena itulah pekerjaan mereka; membuat tangan orang lain bersih dan menjaga nama baik mereka-mereka yang dianggap berintegritas tinggi tetapi pada akhirnya harus menggunakan tangan "orang" seperti mereka untuk memeras.

Tidak mudah membayangkan punya pekerjaan sebagai 'peluncur' dan 'birokrat abdi dalam' ini karena mereka bekerja menetap di sana, sementara pejabat dan para politisi hanya sekedar mampir. Mereka faham bagaimana uang bisa dikeluarkan dari bisnis daging besar ini. Mereka sama sekali pun tak faham bagaimana melakukan deal-deal dengan private sector, apalagi di negeri orang.

Barangkali saja, orang seperti Lutfi Hasan Ishak dari PKS yang punya niat baik dengan menyederhanakan rantai birokrasi korupsi daging sapi, yang menurutnya merugikan konsumen. Tetapi ia sekali lagi mungkin terlalu lugu memahami jejaring kerja sistem yang masif dan laten (dan sudah terbentuk sejak masa orde-baru) dan akhirnya terjebak dengan "maaf", kasus yang aneh seperti urusan mobil, dan menikahi anak gadis ABG.

Di sini kemudian mengapa persoalan korupsi tidak dapat dilihat kasusnya orang per orang atau satu per dua lembaga apalagi menuduh si 'peluncur' sebagai pelaku-pelaku tunggal.

Jejaring kerjanya harus difahami dulu, betul-betul difahami, baru kita dapat melihat pola-pola transaksional tadi.
Sekian dan Terimakasih.
Merdeka !