Minggu, 11 Januari 2015

“Global War” dan Kebingungan Pemerintah Kita (Dalam Perspektif sederhana).

Pada prinsipnya, sebuah pembangunan kapasitas armada militer ditentukan oleh perspektif ancaman terhadap pertahanan Negara. Setiap 5 atau 10 tahun sekali, setiap Negara akan melakukan peninjauan ulang dan merevisi kerangka kebijakan mereka tentang ancaman pertahanan. Terkhusus untuk Rusia, mungkin ini adalah dampak dari kepemimpinan para bekas anggota KGB sepeti Putin dan Medvedev, perspektif pertahanannnya tetap neo-realis. Sehinga tidak mengherankan bila pola kebijakannnya ditentukan oleh logika “survival of the state”. Dalam pandangan mereka, Nato, UE, dan AS tetap menjadi sebuah ancaman nyata. Sehingga pembangunan armada militer menjadi urgensi bagi mereka. Terlebih setelah kasus Crimea, perspektif ancaman tersebut berubah menjadi sebuah kekhawatiran.  Bersadarkan hal inilah, sejak 2012 Rusia membangun kapasitas militernya dengan cukup agresif. Ditambah lagi adanya penguatan kerjasama dengan China dan beberapa Negara yang tergabung dalam BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South Africa).
Untuk membangun sebuah kekuatan militer, maka dana yang dibutuhkan tidak sedikit. Untuk negara-negara seperti Rusia, yang saat ini sedang dilanda sanksi ekonomi oleh AS dan sekutunya, profit terkecil sekalipun akan sangat berarti. Namun profit yang didapat dari minyak, merupakan salah satu dana pendukung yang sangat dibutuhkan oleh Rusia saat ini.
Disisi lain, AS sedang mengalami kelelahan dan mungkin juga kekalahan, setelah bertahun-tahun menjalankan operasi militer di Timur Tengah. Kondisi ini menyebabkan cengkraman hegemoni AS menjadi kendur di hampir semua kawasan di dunia, selain Asia pasifik. Di Timur Tengah, AS mendapat perlawanan yang terus menerus. Di Afrika saat ini China sudah mulai menguasai hampir semua karjasama pembangunan infrastruktur di semua negara Afrika. Di kawasan Eurasia, saat ini Rusia sudah membangun kerjasama strategis dengan mantan-mantan pecahan Uni Soviet di masa lalu. Di Amerika latin saat ini bermunculan para pemimpin yang “anti-AS”, terlebih pasca isu terbunuhnya Hugo Chaves. Sedang di Eropa sendiri, yang notabene adalah “sahabat baik AS” sudah berkumpul menjadi sebuah system Supra-nasional dengan Uni Eropa. Sehingga tidak mudah bagi AS menjinakkan kebijakan negara-negara di kawasan ini. 
Dengan mengendurnya cengkraman AS terhadap kawasan, maka bermunculan kekuatan baru yang menguasai kawasan tersebut. Di Eurasia dan Timur Tengah muncul Rusia sebagai backing Iran dan Suriah. Di Afrika muncul China dan Afrika Selatan. Dan dia Amerika Latin muncul Brazil. Dan Asia Tenggara, muncul China dan India. Semua kondisi inilah yang kemudian melahirkan kebijakan AS untuk menarik pasukan dari Timur tengah ke wilayah Asia Pasifik. Sebab Rusia, China, India, dan Brazil, merupakan negara yang masuk dalam regionalism kawasan ini. Secara sederhana, AS ingin melakukan pertarungan hidup-mati nya di kawasan. Dengan asumsi, menjadi hegemoni dikawasan ini secara otomatis akan memantabkan kembali hegemoni global AS.
Saat ini, pertempuran jilid I dimulai. AS dengan sekutu minyak nya menggunakan OPEC, untuk melakukan stabilisasi produksi dan supply minyak dunia ditengah kondisi kelesuan ekonomi global saat. Konsekuensinya yaitu terjadinya penurunan harga minyak dunia. Pada saat supply tinggi, sedang konsumsi rendah, permintaan menjadi rendah pula, sehingga harga akan otomatis turun. Tujuannya jelas, melemahkan ekonomi Rusia, termasuk juga Iran yang sedang membutuhkan banyak modal dalam membangun persenjataannya. Dalam pernyataannya, Raja Arab Saudi menyatakan bahwa mereka tidak akan mengurangi supply, meskipun beberapa negara produsen sudah mendesak untuk mengurangi. Dengan menurunnya harga minyak, dipastikan keuntungan yang didapat negara-negara produsen minyak yang tergabung dalam OPEC seperti Nigeria, Rusia, Iran Venezuela dan lain-lain, akan mengalami pengurangan. Dalam prediksi beberapa pengamat ekonomi, bila kondisi ini terus berlangsung, maka harga minyak dunia akan terus turun, bahkan mungkin menyentuh angka $30/barrel. Angka ini lebih rendah dari positioning harga minyak pada saat 2007-2008 yang berujung pada bencana ekonomi global.
Dalam kondisi carut marut politik ekonomi global saat ini, terdapat beberapa manuver politik yang dilakukan pemerintahan baru sekarang yang membuat sesak jantung ;
Pertama, Kebijakan menaikan harga BBM pada saat harga minyak dunia sedang menurun melahirkan banyak pertanyaan dibenak masyarakat. Bagi yang pro-Jokowi, mungkin Jokowi dengan kejeniusannya melakukan hal ini untuk tujuan yang sangat mendasar dan strategis jangka panjang. Namun yang mengagetkan adalah, hanya dalam waktu kurang lebih 1 bulan, harga BBM kembali diturunkan. Alasannya adalah harga minyak dunia sedang turun. Padahal pada saat harga BBM dinaikkan, justru harga minyak dunia dalam tahap awal penurunan. Hal ini tentunya melahirkan kebingungan, pertama, bagaimana mungkin negara dengan para ahli ekonominya yang cerdas tidak mengetahui kecenderungan ekonomi global saat ini, terlebih soal harga minyak dunia ? Sedang para pengamat kacangan di medsos saja sudah berkicau soal ini, bahkan masih menyeret-nyeret konflik pilpres 2014. Bukan hanya itu, media-media on line, elektronik pun tidak luput membuat kisruh masyarakat. Dapat dilihat dari Facebook, twitter, Path dan media lainnya, betapa bangganya para pengguna media social memposting web para pengamat kacangan atau berita-berita provokatif.  Sepertinya mereka senang untuk melihat konflik di arus bawah. Padahal, seharusnya sudah bukan lagi mengarahkan masyarakat untuk melihat kebelakang, tetapi seharusnya membentuk pola pikir masyarakat untuk bagaimana kritis dalam mengawal pemerintahan yang syah saat ini.  Kedua, bila alasan penurunan harga BBM adalah turunnya harga minyak dunia, ini berarti harga BBM telah dilepas ke mekanisme pasar dunia. Dengan kata lain, tidak ada lagi subsidi untuk rakyat, yang otomatis menjaga harga-harga tetap dalam posisi yang stabil. Lantas kemana argumentasi yang mengatasnamakan alih fungsi subsidi, isu ekonomi kerakyatan dan Trisakti yang diusung pemerintahan ini. Alih-alih menjadi pewaris ide Soekarno, ekonomi Indonesia justru menjadi sangat liberal pada saat pemerintahan di pimpin oleh orang yang mengatasnamakan diri sebagai anak ideologis Soekarno. 
Ketiga, Bayangkan masyarakat sebuah negara dengan pemerintahan yang baru seumur jagung, yang sedang dalam kondisi pembenahan dipaksa bersaing dipasar global yang anarkis tanpa perlindungan regulasi yang kuat untuk rakyat dari pemerintahan yang kuat. Belum lagi bila dilkaitkan dengan adanya program Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlangsung 2015. Ini jelas sebagai tanda bahwa semua barang-barang mulai dari dodol garut, sepatu kulit Cibaduyut hingga BBM akan bersaing dalam pasar bebas.  Padahal asumsi sederhana nya, bila kita menyanggupi ikut dalam MEA, maka sudah seharusnya pemerintah melindungi rakyat dengan menjaga stabilitas harga dan supply barang-barang primer seperi BBM, Gas, Air, Listrik, tarif angkutan dan lain-lain. Dengan kata lain, semua sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat untuk bersaing seharusnya di supply dan dilindungi oleh pemerintah dengan regulasi yang ketat.
Keempat, Hal terakhir adalah kemampuan pemerintah untuk melakukan mitigasi resiko terhadap kebijakan yang sudah diambilnya sendiri. Dalam rentang waktu kurang dari 100 hari pemerintahannya, ada dua sample kebijakan dengan makanisme mitigasi yang kontroversial, yaitu menaikkan harga BBM pada saat harga minyak dunia sedang turun disatu sisi, namun tidak menjamin supply bahan-bahan pokok di pasar tradisonal disisi lain. Konsekuesinya adalah, harga-harga tersebut melambung tak terkendali sehingga mencekik perekonomian rakyat bawah. Kedua adalah peristiwa jatuhnya Pesawat Air Asia jurusan Surabaya-Singapura yang disinyalir  mengandung unsur kelalaian pengelola disebabkan murahnya ongkos pesawat tersebut. Untuk memitigasi resiko terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan, maka pemerintah melakukan penghapusan terhadap penerbangan murah, namun untuk penerbangan domestik  saja. Sungguh sebuah regulasi aneh dimana pemerintah mengeluarkan peraturan tentang penetapan tarif batas atas penumpang kelas ekonomi untuk angkutan udara berjadwal di dalam negeri. Pesawat Air Asia yang jatuh adalah pesawat dengan rute penerbangan luar negeri, tetapi harga tiket murah yang dibatasi adalah tiket ekonomi untuk penerbangan domestik. Disaat daya beli masyarakat yang kian rendah, disisi lain tidak diimbangi dengan kebijakan yang bisa meringankan beban masyarakat.
Melihat performa pemerintahan sejauh ini, dan dihubungkan dengan analisa tentang kondisi global, akan sangat sulit memahami langkah apa saja yang akan dikeluarkan pemerintah dalam 1 bulan atau 1 tahun mendatang. Mengingat kebijakan yang dikeluarkan seperti tidak memiliki korelasi yang jelas dengan konstalasi global yang sedang terjadi. Padahal, dalam banyak pertemuan internasional seperti Rio+20 yang membahas tentang Sustainable Development juga sudah disinggung, bagaimana kemiskinan di sebuah desa bahkan rumah tangga di kawasan Sub Sahara, memiliki korelasi yang saling terkait dengan kebijakan ekonomi global. Jeffrey Sach dalam bukunya The End Of Poverty bahkan mengingatkan bahwa mekanisme perbaikan ekonomi internasional haruslah dimulai bersama-sama dari tingkat global. Sebab kemiskinan yang terjadi, tidak hanya disebabkan oleh lemahnya pemerintah sebuah negara, tapi lebih disebabkan oleh rembesan dari keserakahan dalam system pasar global. Sehingga modal manusia untuk melanjutkan hidupnya hilang atau tergadai, yang berujung pada kemiskinan ekstrim di berbagai belahan dunia.
Kita lihat saja nanti, ketika harga minyak dunia mengalami penurunan kembali, apakah pemerintah  akan ikut menurunkannya juga? Atau kembali keharga dijaman rezim lama? Kalau memang benar terjadi, maka jelas lah sudah bahwa harga BBM telah dilepas ke mekanisme pasar dunia. Dengan kata lain, tidak ada lagi subsidi.  Lantas argumentasi yang mengatasnamakan alih fungsi subsidi, isu ekonomi kerakyatan dan Trisakti yang diusung pemerintahan ini sebenarnya adalah klise.
Dalam kerasnya pertarungan ekonomi politik global saat ini, hanya pemerintah yang menjadi tumpuan rakyat untuk bisa survive. Dan pemerintah yang dimaksud itu adalah pemerintahan Jokowi-JK yang baru berumur kurang dari 100 hari ini. Bila pada masa perang dingin, rembesan konflik negara-negara adidaya menyebabkan 1 juta orang terbunuh di Kamboja ; oleh Rezim polpot dan lebih dari 2 juta orang terbunuh di Indonesia ; yaitu pembantaian manusia yang diduga PKI tanpa proses peradilan. Maka dalam perang ekonomi global kali ini, rembesan konflik tersebut akan menyebabkan kemiskinan massal dan kerusuhan sosial politik di negara-negara berkembang. Dan ini akan lebih banyak memakan korban dibanding  pada masa perang dingin. Cukup lah konflik-konflik politik Rwanda dengan pembantaian genoside suku tutsi serta konflik politik Crimea dengan terpecahnya konflik Pro AS dgn Pro Rusia terjadi disana, jangan sampai ke Indonesia.
Yang perlu dipahami adalah Indonesia merupakan negara Bangsa yang proses kelahirannya di sepakati oleh para pendiri bangsa dari berbagai suku bangsa dengan kekayaan alam yang melimpah serta kearifan lokal masyarakatnya yang kuat. Usia Indonesia saat ini menjelang 70 tahun, dimana diusia tersebut terjadi masa-masa kritis dengan acaman disintegrasi. Belajar lah dari pecahnya Yugoslavia yang bubar diusia 73 tahun. Krisis politik dan Ekonomi berefek terhadap pembantaian yang mengarah kepada genoside suku Bosnia yang akhirnya berdiri sendiri menjadi negara Bosnia. Begitu juga dengan Uni Sovyet yang bubar diusia 69 tahun dimana krisis Ekonomi dan Politik berefek kepada bergejolaknya gejolak-gejolak sosial di dalam negeri hingga akhirnya terjadi disintegrasi bangsa dengan pecahnya Uni Sovyet menjadi beberapa negara baru seperti ukraina, Uzbekistan dan lain-lain. Inilah titik awal dominasi AS dan Sekutunya (NATO) menghancurkan negara-negara bangsa, khususnya negara yang tergabung dalam Pakta Pertahanan 'Pakta Warsawa' dengan dalih Demokrasi, HAM. Krisis ini terjadi ketika AS dan sekutunya mulai mengatur pasar dunia, khususnya mengatur negara-negara penghasil minyak (OPEC) dan menguatnya pengaruh Washington Consensus yang melahirkan lembaga-lembaga donatur untuk negara-negara dunia ketiga dengan pra syarat mengikuti pola Demokrasi dan Ekonomi versi mereka, salah satunya adalah IMF yang mendonasikan uangnya untuk pemerintah Indonesia.      
Mirisnya, mayoritas masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat kelas menengah keatas nya sekalipun masih tidak mampu memahami realitas kondisi Bangsa ini. Bahwa apa yang terjadi sejak Regulasi Penanaman Modal Asing (PMA) dijaman Pemerintahan Soeharto hingga detik ini pemerintah tidak pernah lepas dari jerat-jerat politik asing, dimana cengkeraman terbesar datang dari AS dan sekutunya. Yang lebih miris lagi, rezim yang baru seumur jagung dan mengklaim dengan ajaran Trisakti nya, hingga detik ini tidak satupun melahirkan regulasi besar yang Pro Rakyat yang sama dengan prinsip ajaran Trisakti. Alih-alih justru masyarakat dibentuk dengan manajemen konflik baru, seolah-olah orang-orang yang tidak mampu bekerja adalah Legislatif. Sungguh miris, dimana fungsi Legilatif yang memang memiliki fungsi Crotolling di kategorikan sebagai Eksekutif yang memang sudah seharusnya bekerja untuk rakyat. Hingga pada akhirnya bangsa ini terbentuk dengan konflik, dibuat 'in watch looking', bukan 'All Out Looking', tapi yang sebenarnya terjadi adalah kemenangan negara donatur dengan regulasi via rezim yang berkuasa. Semakin banyak konflik, mereka semakin mencengkram kita lebih kuat lagi. Pemerintahnya tak berpihak kepada rakyat, legislatif nya sibuk dengan konflik yang tidak cerdas. Sungguh malang kondisi negara ini.

Pertanyaan sederhana untuk masyarakat Indonesia, "Apa masyarakat mengerti perihal Global War dan posisi Indonesia saat ini?“ "Apakah masih senang terbawa suasana konflik emosional pilpres?”, “Masih adakah hati nurani untuk berkontribusi kepada masa depan bangsa?”, “Masih mampukah bersikap kritis, objektif dan rasional dalam melihat persoalan bangsa?”. Semua  jawabnya ada di dalam hati masing-masing, serta melihat daya beli rumah tangga masing-masing. Jangan karena pola pikir dan wawasan politik yang sempit, maka banyak terjadi konflik horizontal. Ini Indonesia  Bekerja dan mengabdi lah kepada negeri ini sesuai dengan apa yang kita mampu tanpa syarat dan tanpa embel-embel termasuk dukung mendukung, kecuali politisi. Ingat, konspirasi global itu adalah fakta yang dari dulu sudah ada sejak mata uang dollar menjadi mata uang Internasional dan sejak berlakunya hak veto di PBB. Sudahilah cara pandang 'in watch looking'. mari kita buka cara pandang kebangsaan kita dengan 'All Out Looking'. Kritis bukan berarti benci dan menolak, tapi lebih dari itu semua, 'dapur' rumah tangga kita di rumah saat ini mulai terganggu disaat pasar dunia semakin liberal.  

Salam
MERDEKA 100%!