Jika kita kritis pada pejabat pemerintah dari presiden hingga aparatur pemerintah lainnya itu wajar, karena mereka adalah pejabat publik yang digaji, makan, tidur, blusukan, naik mobil dibayar dan difasilitasi dengan dana publik yang diambil langsung tak langsung dari pajak publik.
Harus dihindari kritik yang menuduh, mefitnah, atau menyerang pribadi dan fisik seseorang !.
Kritik harus pada kebijakkan (policy) yang diambil dan dikerjakan pejabat. Dan tidak perlu menunggu sampai misalnya habis masa jabatan, ini karena jika anda setuju pemilu langsung, maka kritik dan ketidak percayaan dapat langsung pula disampaikan pada saat kebijakan tadi dikeluarkan.
Sebab tidak ada lagi mekanisme pertanggungjawaban Presiden/Menteri oleh Dewan/Majelis atau Badan-badan lainnya.
Konyol kepada orang-orang yang berkata bahwa; belum setahun sudah dikritik, baru mulai sudah digangguin, apalagi yang bertanya: "Emang apa sih yang udah lu kerjain buat bangsa dan negara ini?"
Sikap konyol biasa terjadi pada mereka yang baru melek politik sejak pilpres 2014. Paham kebijakan (policy) pun sedikit, turun aksi kejalan pun tidak pernah, advokasi masyarakat miskin pun tidak pernah, apalagi merasakan penjara penguasa yang zalim..
Semoga mereka diberikan hidayah agar bisa berpikir rasional, Objektif dan Bijaksana. Karena baik atau buruknya mereka yang 'konyol' tadi tetap bagian dari Bangsa Indonesia yang notabene adalah saudara kita juga.
Hasta La Victoria Siempre Indonesia !
Senin, 02 Februari 2015
Arah Perang Minyak Arab Saudi
- Gain
Seeking Mentalitas dalam Hubungan Internasional via Perang Minyak-
Pernyataan
menteri perminyakan Saudi Ali al-Naimi mengatakan
bahwa Saudi tidak akan mengendurkan produksi minyak meski harga minyak curah
turun hingga 20 dollar saja per barel dan akan menyebabkan defisit pendapatan
negara tahun-tahun ke depan dapat dilihat dari kacamata teori neo-realis
hubungan kerja sama internasional sebagai mentalitas baru cari untung (new gain
seeking mentalities).
Bisnis
minyak meski dalam pandangan teori ego-rasional (rational egoist) adalah
bagaimana produsen memperoleh keuntungan sebesarnya bagi kepentingan
domestiknya, namun dalam kenyataannya ia punya sejarah panjang relasi
kekuasaan, konflik, dan keamanan (power, conflict, and security). Dimana tujuan
lainnya adalah negara2 pengekspor selain perlu mempertahankan tujuan utamanya
(absolute) yaitu revenue keuntungan ke dalam negeri, mereka juga harus
berhadapan dengan tujuan relatif (relative) yaitu revenue dinamis yang
berbeda-beda yang dimainkan baik kompetitor maupun lawan ekonomi-politik.
Perilaku
menyesuaikan terhadap tantangan perubahan konstelasi ancaman2 ini yang menjadi
kesimpulan dari tabiat ingin meraih keuntungan (gain-seeking). Melihat apa yang
dilakukan oleh Saudi memang tidak terlalu mudah dibaca lewat kacamata
mikroekonomi dan teori ego-rasional, tetapi bahwa mereka sedang memainkan -new
challenging of constellation of threats- dapat kita baca dengan teori
posisionalis strategis, yang artinya Saudi sedang memainkan distribusi
kerjasama kekuatan dan distribusi konflik.
Untuk
menerangkan neo-realitas yang serba anomali ada beberapa poin yang perlu
difahami.
Pertama,
yang perlu kita lihat adalah bahwa Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, dll.. adalah
negara anggota eksportir minyak OPEC, yang selalu terlibat dalam hubungan
dilematis bekerjasama atau perang (ekonomi-politik-militer).
Hubungan
antara harga minyak, stabilitas, perdamaian, perang dan konflik dan
mempengaruhi mikroekonomi bangsa-bangsa, membuat koalisi OPEC adalah koalisi
internasional yang berbasiskan kepada apa yang disebut doppelten
sicherheitdillema, dilema standar ganda.
Di
satu sisi mereka saling membenci, namun di sisi lain mereka saling membutuhkan
agar harga minyak stabil dan dengan sendirinya mereka tetap mendapatkan modal untuk
memperkuat posisi politik, ekonomi, serta mendanai anggaran militernya (Robert
Mabro). Di sini teori ego-rasional masih dapat diterima.
Kedua,
adalah soal rational egoist baru. Keberadaan mereka yang disebut sebagai
pemasok utama (Venezuela 24%, Arab Saud 22%, Iran 13%, Irak 12% EUA,Qatar,8%
Libya 4%) dengan cakupan konsumsi 82% minyak dunia membuat negeri2 ini berhak
menjadi penentu berapa keuntungan maksimum yang dapat mereka peroleh dari
hubungan minyak-harga-stabilitas.
Di
sini muncul kesadaran dasar rational egoist, yaitu pada dasarnya negara-negara
ini ingin memperoleh harga yang sebaik-baiknya bagi negeri mereka dengan tetap
menjaga "utilitas" dan alat-alat produksinya.
Yang
lalu menempatkan masing-masing pihak dengan kekuatan-kekuatan produksinya tadi
menentukan secara distribusional berapa harga ideal bagi mereka pribadi. Misal
bagi Saudi yang memasok 22% harga 100 dollar itu cukup, sementara Iran 130
dollar karena ada embargo, dan sebagian besar lainnya sepakat damai di 120%.
Persoalan
yang sering terjadi dari kesepakatan antar negara-negara ini adalah bahwa
masing-masing dari mereka juga melakukan perdagangan minyak lewat jalur-jalur
lain yang disembunyi-sembunyikan atau tipu-tipu. Misal bagi Iran yang
diembargo, demi mengejar optimum gain 130 dollar yang mereka butuhkan untuk
menyimbangkan anggaran negaranya.
Maka
mereka menjualnya lewat perantara lain seperti Cina, India, Rusia, agar
terpenuhi apa yang disebut pareto optimal. Syaratnya utilitas dan alat-alat
produksi dari masing-masing produsen tidak boleh terganggu. Ini artinya wilayah
di Negara-negara produsen kuat (kecuali Irak dan Libya) tidak boleh ada konfik
dan sebagai gantinya konflik harus dipindahkan ke tempat lain, Syiria, Irak
Utara, Libya, Aljazair, atau Sudan misalnya.
Ketiga,
munculnya Posisionalis Strategis atau neo-realis
Melihat
bahwa dalam kenyataannya gain atau perolehan sendiri bersifat dinamis maka
sekelompok orang melihat bahwa teori rasional egois tidak cukup dapat
menerangkan hubungan-hubungan yang semakin lama semakin anomali dan tidak umum
(meskipun sebetulnya normal juga sih).
Misalnya
dengan apa yang dilakukan Saudi dengan menjual minyak semurah-murahnya yang
menyebabkan defisit bagi negerinya dan diperkirakan menghancurkan negara tadi
dalam 5 tahun ke depan maka kita katakan mustahil mereka melakukannya tanpa
mempertimbangkan gain (perolehan). Yang jelas Saudi harus punya cadangan duit
minimum 5 tahun dalam perang harga super murah yang baru terjadi kali ini.
Konsekuensinya realitasnya gain-seeking dari rasionalis-egois itu sekarang
berbeda, bukan lagi maksimum tetapi sekedar lebih atau dengan tetap mencari
posisi strategis atau neo-realis.
Di
sini kemungkinan terjadinya penawaran relative-gains antar aktor-aktor pemain
sekaligus tawaran kemungkinan perubahan kongsi-kongsi kepentingan di dalamnya. Ini
semakin menunjukkan bahwa apa yang dicari Saudi lewat perang harga murah ini
adalah melihat tantangan konstelasi ancaman ke depan, dimana mereka membutuhkan
kawan-kawan dan mengundang terbangunnya negara-negara elit grup dari kartel
minyak baru. Singkatnya Saudi membutuhkan AS sebagai mitra koalisi kartelnya,
tetapi ia membutuhkan kawan-kawan baru.
Tentu
saja yang diharapkan terpukul adalah Iran dan Rusia sebagai produsen kedua di
jajaran OPEC dan non OPEC. Tetapi kedua negara ini sudah terbiasa mengalami
embargo dan sanksi ekonomi tidak hanya pembatasan komoditas minyak mentah dalam
satu dua tahun ke belakang. Selain Rusia mengutamakan pasar domestik dan Iran
tidak menempatkan untung minyak sebagai pondasi pembangunan ekonominya dimana
hal ini tidak akan dibaca mereka sebagai tantangan konstelasi ke depan.
Saudi
tidak dalam posisi dapat menyerang dalam perang minyak era sekarang. Gain
seeking mentalitas mereka akan berbeda kali ini, karena yang dimainkan adalah
harga rendah (bukan harga jual mahal) dimana mereka terpaksa pelan-pelan tarik
uang tabungannya.
Kecuali
AS dan para sekutunya di eropa misalnya, jauh akan lebih tenang berbisnis gas
dengan rusia daripada membeli minyak murah hanya sementara yang beresiko bagi
rencana-rencana pembangunan mereka. Mereka juga punya pengalaman krisis minyak
1980, perang iraq-iran, perang irak-kuwait, dll. menempatkan eropa tidak dalam
banyak pilihan juga dalam perang minyak kali ini.
Lalu bagaimana dengan
Indonesia?
Dalam kondisi carut marut
politik ekonomi global saat ini, terdapat beberapa manuver politik yang
dilakukan pemerintahan baru sekarang yang membuat sesak jantung ;
Pertama, Kebijakan
menaikan harga BBM pada saat harga minyak dunia sedang menurun melahirkan
banyak pertanyaan dibenak masyarakat. Bagi yang pro-Jokowi, mungkin Jokowi
dengan segala kejeniusannya melakukan hal ini untuk tujuan yang sangat mendasar
dan strategis jangka panjang. Namun yang mengagetkan adalah, hanya dalam waktu
kurang lebih 1 bulan, harga BBM kembali diturunkan. Alasannya adalah harga
minyak dunia sedang turun. Padahal pada saat harga BBM dinaikkan, justru harga
minyak dunia dalam tahap awal penurunan. Hal ini tentunya melahirkan
kebingungan, pertama, bagaimana mungkin negara dengan para ahli ekonominya yang
cerdas tidak mengetahui kecenderungan ekonomi global saat ini, terlebih soal
harga minyak dunia ?
Kedua, bila alasan penurunan
harga BBM adalah turunnya harga minyak dunia, ini berarti harga BBM telah
dilepas ke mekanisme pasar dunia. Dengan kata lain, tidak ada lagi subsidi
untuk rakyat, yang otomatis menjaga harga-harga tetap dalam posisi yang stabil.
Lantas kemana argumentasi yang mengatasnamakan alih fungsi subsidi, isu ekonomi
kerakyatan dan Trisakti yang diusung pemerintahan ini. Alih-alih menjadi
pewaris ide Soekarno, ekonomi Indonesia justru menjadi sangat liberal pada saat
pemerintahan di pimpin oleh orang yang mengatasnamakan diri sebagai anak
ideologis Soekarno.
Ketiga, Bayangkan
masyarakat sebuah negara dengan pemerintahan yang baru seumur jagung, yang
sedang dalam kondisi pembenahan dipaksa bersaing dipasar global yang anarkis
tanpa perlindungan regulasi yang kuat untuk rakyat dari pemerintahan yang kuat.
Belum lagi bila dilkaitkan dengan adanya program Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
yang akan berlangsung 2015. Ini jelas sebagai tanda bahwa semua barang-barang
mulai dari dodol garut, sepatu kulit Cibaduyut hingga BBM akan bersaing dalam
pasar bebas. Padahal asumsi sederhana
nya, bila kita menyanggupi ikut dalam MEA, maka sudah seharusnya pemerintah
melindungi rakyat dengan menjaga stabilitas harga dan supply barang-barang primer
seperi BBM, Gas, Air, Listrik, tarif angkutan dan lain-lain. Dengan kata lain,
semua sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat untuk bersaing seharusnya
di supply dan dilindungi oleh pemerintah dengan regulasi yang ketat.
Keempat, Hal terakhir
adalah kemampuan pemerintah untuk melakukan mitigasi resiko terhadap kebijakan
yang sudah diambilnya sendiri. Dalam rentang waktu kurang dari 100 hari
pemerintahannya, sudah membuat kebijakan dengan makanisme mitigasi yang
kontroversial, yaitu menaikkan harga BBM pada saat harga minyak dunia sedang
turun disatu sisi, namun di sisi lain tidak menjamin supply bahan-bahan pokok
di pasar tradisonal.. Konsekuesinya adalah, harga-harga tersebut melambung tak
terkendali sehingga mencekik perekonomian rakyat bawah.
Melihat performa
pemerintahan sejauh ini, dan dihubungkan dengan analisa tentang kondisi global,
akan sangat sulit memahami langkah apa saja yang akan dikeluarkan pemerintah
dalam 1 bulan atau 1 tahun mendatang. Mengingat kebijakan yang dikeluarkan
seperti tidak memiliki korelasi yang jelas dengan konstalasi global yang sedang
terjadi. Padahal, dalam banyak pertemuan internasional seperti Rio+20 yang
membahas tentang Sustainable Development juga sudah disinggung, bagaimana
kemiskinan di sebuah desa bahkan rumah tangga di kawasan Sub Sahara, memiliki
korelasi yang saling terkait dengan kebijakan ekonomi global. Jeffrey Sach
dalam bukunya The End Of Poverty bahkan mengingatkan bahwa mekanisme perbaikan
ekonomi internasional haruslah dimulai bersama-sama dari tingkat global. Sebab
kemiskinan yang terjadi, tidak hanya disebabkan oleh lemahnya pemerintah sebuah
negara, tapi lebih disebabkan oleh rembesan dari keserakahan dalam system pasar
global. Sehingga modal manusia untuk melanjutkan hidupnya hilang atau tergadai,
yang berujung pada kemiskinan ekstrim di berbagai belahan dunia.
Kita lihat saja nanti,
ketika harga minyak dunia mengalami penurunan kembali, apakah pemerintah akan ikut menurunkannya juga? Atau kembali
keharga dijaman rezim lama? Kalau memang benar terjadi, maka jelas lah sudah
bahwa harga BBM telah dilepas ke mekanisme pasar dunia. Dengan kata lain, tidak
ada lagi subsidi untuk masyarakat.
Lantas argumentasi yang mengatasnamakan alih fungsi subsidi, isu ekonomi
kerakyatan dan Trisakti yang diusung pemerintahan ini sebenarnya adalah klise.
Dalam kerasnya pertarungan
ekonomi politik global saat ini, hanya pemerintah yang menjadi tumpuan rakyat
untuk bisa survive. Dan pemerintah yang dimaksud itu adalah pemerintahan
Jokowi-JK yang baru berumur kurang dari 100 hari ini. Bila pada masa perang
dingin, rembesan konflik negara-negara adidaya menyebabkan 1 juta orang
terbunuh di Kamboja ; oleh Rezim polpot dan lebih dari 2 juta orang terbunuh di
Indonesia ; yaitu pembantaian manusia yang diduga PKI tanpa proses peradilan.
Maka dalam perang ekonomi global kali ini, rembesan konflik tersebut akan
menyebabkan kemiskinan massal dan kerusuhan sosial politik di negara-negara
berkembang. Dan ini akan lebih banyak memakan korban dibanding pada masa perang dingin. Cukup lah
konflik-konflik politik Rwanda dengan pembantaian genoside suku tutsi serta
konflik politik Crimea dengan terpecahnya konflik Pro AS dgn Pro Rusia terjadi
disana, jangan sampai ke Indonesia.
Hasta La Victoria Siempre
Indonesia ! Mari Kita bangkit untuk melunasi hutang janji Kemerdekaan para
founding fathers Republik ini dengan tetap berfikir rasional dan bijaksana.
Langganan:
Postingan (Atom)