Senin, 02 Februari 2015

Jika kita kritis pada pejabat pemerintah dari presiden hingga aparatur pemerintah lainnya itu wajar, karena mereka adalah pejabat publik yang digaji, makan, tidur, blusukan, naik mobil dibayar dan difasilitasi dengan dana publik yang diambil langsung tak langsung dari pajak publik.

Harus dihindari kritik yang menuduh, mefitnah, atau menyerang pribadi dan fisik seseorang !.

Kritik harus pada kebijakkan (policy) yang diambil dan dikerjakan pejabat. Dan tidak perlu menunggu sampai misalnya habis masa jabatan, ini karena jika anda setuju pemilu langsung, maka kritik dan ketidak percayaan dapat langsung pula disampaikan pada saat kebijakan tadi dikeluarkan.

Sebab tidak ada lagi mekanisme pertanggungjawaban Presiden/Menteri oleh Dewan/Majelis atau Badan-badan lainnya.

Konyol kepada orang-orang yang berkata bahwa; belum setahun sudah dikritik, baru mulai sudah digangguin, apalagi yang bertanya: "Emang apa sih yang udah lu kerjain buat bangsa dan negara ini?"
Sikap konyol biasa terjadi pada mereka yang baru melek politik sejak pilpres 2014. Paham kebijakan (policy) pun sedikit, turun aksi kejalan pun tidak pernah, advokasi masyarakat miskin pun tidak pernah, apalagi merasakan penjara penguasa yang zalim..
Semoga mereka diberikan hidayah agar bisa berpikir rasional, Objektif dan Bijaksana. Karena baik atau buruknya mereka yang 'konyol' tadi tetap bagian dari Bangsa Indonesia yang notabene adalah saudara kita juga.

Hasta La Victoria Siempre Indonesia !

Arah Perang Minyak Arab Saudi

- Gain Seeking Mentalitas dalam Hubungan Internasional via Perang Minyak-

Pernyataan menteri perminyakan Saudi Ali al-Naimi mengatakan bahwa Saudi tidak akan mengendurkan produksi minyak meski harga minyak curah turun hingga 20 dollar saja per barel dan akan menyebabkan defisit pendapatan negara tahun-tahun ke depan dapat dilihat dari kacamata teori neo-realis hubungan kerja sama internasional sebagai mentalitas baru cari untung (new gain seeking mentalities).

Bisnis minyak meski dalam pandangan teori ego-rasional (rational egoist) adalah bagaimana produsen memperoleh keuntungan sebesarnya bagi kepentingan domestiknya, namun dalam kenyataannya ia punya sejarah panjang relasi kekuasaan, konflik, dan keamanan (power, conflict, and security). Dimana tujuan lainnya adalah negara2 pengekspor selain perlu mempertahankan tujuan utamanya (absolute) yaitu revenue keuntungan ke dalam negeri, mereka juga harus berhadapan dengan tujuan relatif (relative) yaitu revenue dinamis yang berbeda-beda yang dimainkan baik kompetitor maupun lawan ekonomi-politik.

Perilaku menyesuaikan terhadap tantangan perubahan konstelasi ancaman2 ini yang menjadi kesimpulan dari tabiat ingin meraih keuntungan (gain-seeking). Melihat apa yang dilakukan oleh Saudi memang tidak terlalu mudah dibaca lewat kacamata mikroekonomi dan teori ego-rasional, tetapi bahwa mereka sedang memainkan -new challenging of constellation of threats- dapat kita baca dengan teori posisionalis strategis, yang artinya Saudi sedang memainkan distribusi kerjasama kekuatan dan distribusi konflik.

Untuk menerangkan neo-realitas yang serba anomali ada beberapa poin yang perlu difahami.

Pertama, yang perlu kita lihat adalah bahwa Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, dll.. adalah negara anggota eksportir minyak OPEC, yang selalu terlibat dalam hubungan dilematis bekerjasama atau perang (ekonomi-politik-militer).

Hubungan antara harga minyak, stabilitas, perdamaian, perang dan konflik dan mempengaruhi mikroekonomi bangsa-bangsa, membuat koalisi OPEC adalah koalisi internasional yang berbasiskan kepada apa yang disebut doppelten sicherheitdillema, dilema standar ganda.

Di satu sisi mereka saling membenci, namun di sisi lain mereka saling membutuhkan agar harga minyak stabil dan dengan sendirinya mereka tetap mendapatkan modal untuk memperkuat posisi politik, ekonomi, serta mendanai anggaran militernya (Robert Mabro). Di sini teori ego-rasional masih dapat diterima.

Kedua, adalah soal rational egoist baru. Keberadaan mereka yang disebut sebagai pemasok utama (Venezuela 24%, Arab Saud 22%, Iran 13%, Irak 12% EUA,Qatar,8% Libya 4%) dengan cakupan konsumsi 82% minyak dunia membuat negeri2 ini berhak menjadi penentu berapa keuntungan maksimum yang dapat mereka peroleh dari hubungan minyak-harga-stabilitas.

Di sini muncul kesadaran dasar rational egoist, yaitu pada dasarnya negara-negara ini ingin memperoleh harga yang sebaik-baiknya bagi negeri mereka dengan tetap menjaga "utilitas" dan alat-alat produksinya.

Yang lalu menempatkan masing-masing pihak dengan kekuatan-kekuatan produksinya tadi menentukan secara distribusional berapa harga ideal bagi mereka pribadi. Misal bagi Saudi yang memasok 22% harga 100 dollar itu cukup, sementara Iran 130 dollar karena ada embargo, dan sebagian besar lainnya sepakat damai di 120%.

Persoalan yang sering terjadi dari kesepakatan antar negara-negara ini adalah bahwa masing-masing dari mereka juga melakukan perdagangan minyak lewat jalur-jalur lain yang disembunyi-sembunyikan atau tipu-tipu. Misal bagi Iran yang diembargo, demi mengejar optimum gain 130 dollar yang mereka butuhkan untuk menyimbangkan anggaran negaranya.

Maka mereka menjualnya lewat perantara lain seperti Cina, India, Rusia, agar terpenuhi apa yang disebut pareto optimal. Syaratnya utilitas dan alat-alat produksi dari masing-masing produsen tidak boleh terganggu. Ini artinya wilayah di Negara-negara produsen kuat (kecuali Irak dan Libya) tidak boleh ada konfik dan sebagai gantinya konflik harus dipindahkan ke tempat lain, Syiria, Irak Utara, Libya, Aljazair, atau Sudan misalnya.

Ketiga, munculnya Posisionalis Strategis atau neo-realis
Melihat bahwa dalam kenyataannya gain atau perolehan sendiri bersifat dinamis maka sekelompok orang melihat bahwa teori rasional egois tidak cukup dapat menerangkan hubungan-hubungan yang semakin lama semakin anomali dan tidak umum (meskipun sebetulnya normal juga sih).

Misalnya dengan apa yang dilakukan Saudi dengan menjual minyak semurah-murahnya yang menyebabkan defisit bagi negerinya dan diperkirakan menghancurkan negara tadi dalam 5 tahun ke depan maka kita katakan mustahil mereka melakukannya tanpa mempertimbangkan gain (perolehan). Yang jelas Saudi harus punya cadangan duit minimum 5 tahun dalam perang harga super murah yang baru terjadi kali ini. Konsekuensinya realitasnya gain-seeking dari rasionalis-egois itu sekarang berbeda, bukan lagi maksimum tetapi sekedar lebih atau dengan tetap mencari posisi strategis atau neo-realis.

Di sini kemungkinan terjadinya penawaran relative-gains antar aktor-aktor pemain sekaligus tawaran kemungkinan perubahan kongsi-kongsi kepentingan di dalamnya. Ini semakin menunjukkan bahwa apa yang dicari Saudi lewat perang harga murah ini adalah melihat tantangan konstelasi ancaman ke depan, dimana mereka membutuhkan kawan-kawan dan mengundang terbangunnya negara-negara elit grup dari kartel minyak baru. Singkatnya Saudi membutuhkan AS sebagai mitra koalisi kartelnya, tetapi ia membutuhkan kawan-kawan baru.

Tentu saja yang diharapkan terpukul adalah Iran dan Rusia sebagai produsen kedua di jajaran OPEC dan non OPEC. Tetapi kedua negara ini sudah terbiasa mengalami embargo dan sanksi ekonomi tidak hanya pembatasan komoditas minyak mentah dalam satu dua tahun ke belakang. Selain Rusia mengutamakan pasar domestik dan Iran tidak menempatkan untung minyak sebagai pondasi pembangunan ekonominya dimana hal ini tidak akan dibaca mereka sebagai tantangan konstelasi ke depan.

Saudi tidak dalam posisi dapat menyerang dalam perang minyak era sekarang. Gain seeking mentalitas mereka akan berbeda kali ini, karena yang dimainkan adalah harga rendah (bukan harga jual mahal) dimana mereka terpaksa pelan-pelan tarik uang tabungannya.

Kecuali AS dan para sekutunya di eropa misalnya, jauh akan lebih tenang berbisnis gas dengan rusia daripada membeli minyak murah hanya sementara yang beresiko bagi rencana-rencana pembangunan mereka. Mereka juga punya pengalaman krisis minyak 1980, perang iraq-iran, perang irak-kuwait, dll. menempatkan eropa tidak dalam banyak pilihan juga dalam perang minyak kali ini.


Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Dalam kondisi carut marut politik ekonomi global saat ini, terdapat beberapa manuver politik yang dilakukan pemerintahan baru sekarang yang membuat sesak jantung ;
Pertama, Kebijakan menaikan harga BBM pada saat harga minyak dunia sedang menurun melahirkan banyak pertanyaan dibenak masyarakat. Bagi yang pro-Jokowi, mungkin Jokowi dengan segala kejeniusannya melakukan hal ini untuk tujuan yang sangat mendasar dan strategis jangka panjang. Namun yang mengagetkan adalah, hanya dalam waktu kurang lebih 1 bulan, harga BBM kembali diturunkan. Alasannya adalah harga minyak dunia sedang turun. Padahal pada saat harga BBM dinaikkan, justru harga minyak dunia dalam tahap awal penurunan. Hal ini tentunya melahirkan kebingungan, pertama, bagaimana mungkin negara dengan para ahli ekonominya yang cerdas tidak mengetahui kecenderungan ekonomi global saat ini, terlebih soal harga minyak dunia ?
Kedua, bila alasan penurunan harga BBM adalah turunnya harga minyak dunia, ini berarti harga BBM telah dilepas ke mekanisme pasar dunia. Dengan kata lain, tidak ada lagi subsidi untuk rakyat, yang otomatis menjaga harga-harga tetap dalam posisi yang stabil. Lantas kemana argumentasi yang mengatasnamakan alih fungsi subsidi, isu ekonomi kerakyatan dan Trisakti yang diusung pemerintahan ini. Alih-alih menjadi pewaris ide Soekarno, ekonomi Indonesia justru menjadi sangat liberal pada saat pemerintahan di pimpin oleh orang yang mengatasnamakan diri sebagai anak ideologis Soekarno.
Ketiga, Bayangkan masyarakat sebuah negara dengan pemerintahan yang baru seumur jagung, yang sedang dalam kondisi pembenahan dipaksa bersaing dipasar global yang anarkis tanpa perlindungan regulasi yang kuat untuk rakyat dari pemerintahan yang kuat. Belum lagi bila dilkaitkan dengan adanya program Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlangsung 2015. Ini jelas sebagai tanda bahwa semua barang-barang mulai dari dodol garut, sepatu kulit Cibaduyut hingga BBM akan bersaing dalam pasar bebas.  Padahal asumsi sederhana nya, bila kita menyanggupi ikut dalam MEA, maka sudah seharusnya pemerintah melindungi rakyat dengan menjaga stabilitas harga dan supply barang-barang primer seperi BBM, Gas, Air, Listrik, tarif angkutan dan lain-lain. Dengan kata lain, semua sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat untuk bersaing seharusnya di supply dan dilindungi oleh pemerintah dengan regulasi yang ketat.
Keempat, Hal terakhir adalah kemampuan pemerintah untuk melakukan mitigasi resiko terhadap kebijakan yang sudah diambilnya sendiri. Dalam rentang waktu kurang dari 100 hari pemerintahannya, sudah membuat kebijakan dengan makanisme mitigasi yang kontroversial, yaitu menaikkan harga BBM pada saat harga minyak dunia sedang turun disatu sisi, namun di sisi lain tidak menjamin supply bahan-bahan pokok di pasar tradisonal.. Konsekuesinya adalah, harga-harga tersebut melambung tak terkendali sehingga mencekik perekonomian rakyat bawah.
Melihat performa pemerintahan sejauh ini, dan dihubungkan dengan analisa tentang kondisi global, akan sangat sulit memahami langkah apa saja yang akan dikeluarkan pemerintah dalam 1 bulan atau 1 tahun mendatang. Mengingat kebijakan yang dikeluarkan seperti tidak memiliki korelasi yang jelas dengan konstalasi global yang sedang terjadi. Padahal, dalam banyak pertemuan internasional seperti Rio+20 yang membahas tentang Sustainable Development juga sudah disinggung, bagaimana kemiskinan di sebuah desa bahkan rumah tangga di kawasan Sub Sahara, memiliki korelasi yang saling terkait dengan kebijakan ekonomi global. Jeffrey Sach dalam bukunya The End Of Poverty bahkan mengingatkan bahwa mekanisme perbaikan ekonomi internasional haruslah dimulai bersama-sama dari tingkat global. Sebab kemiskinan yang terjadi, tidak hanya disebabkan oleh lemahnya pemerintah sebuah negara, tapi lebih disebabkan oleh rembesan dari keserakahan dalam system pasar global. Sehingga modal manusia untuk melanjutkan hidupnya hilang atau tergadai, yang berujung pada kemiskinan ekstrim di berbagai belahan dunia.
Kita lihat saja nanti, ketika harga minyak dunia mengalami penurunan kembali, apakah pemerintah  akan ikut menurunkannya juga? Atau kembali keharga dijaman rezim lama? Kalau memang benar terjadi, maka jelas lah sudah bahwa harga BBM telah dilepas ke mekanisme pasar dunia. Dengan kata lain, tidak ada lagi subsidi untuk masyarakat.  Lantas argumentasi yang mengatasnamakan alih fungsi subsidi, isu ekonomi kerakyatan dan Trisakti yang diusung pemerintahan ini sebenarnya adalah klise.
Dalam kerasnya pertarungan ekonomi politik global saat ini, hanya pemerintah yang menjadi tumpuan rakyat untuk bisa survive. Dan pemerintah yang dimaksud itu adalah pemerintahan Jokowi-JK yang baru berumur kurang dari 100 hari ini. Bila pada masa perang dingin, rembesan konflik negara-negara adidaya menyebabkan 1 juta orang terbunuh di Kamboja ; oleh Rezim polpot dan lebih dari 2 juta orang terbunuh di Indonesia ; yaitu pembantaian manusia yang diduga PKI tanpa proses peradilan. Maka dalam perang ekonomi global kali ini, rembesan konflik tersebut akan menyebabkan kemiskinan massal dan kerusuhan sosial politik di negara-negara berkembang. Dan ini akan lebih banyak memakan korban dibanding  pada masa perang dingin. Cukup lah konflik-konflik politik Rwanda dengan pembantaian genoside suku tutsi serta konflik politik Crimea dengan terpecahnya konflik Pro AS dgn Pro Rusia terjadi disana, jangan sampai ke Indonesia.
Hasta La Victoria Siempre Indonesia ! Mari Kita bangkit untuk melunasi hutang janji Kemerdekaan para founding fathers Republik ini dengan tetap berfikir rasional dan bijaksana.