Pertama-tama yang terlebih dahulu harus difahami adalah korupsi bukanlah sekedar tindakan mencuri. Karena tidak ada tindakan
korupsi yg dilakukkan tanpa persetujuan dari pihak lain, baik yang dikorupsi
maupun yang melakukan korupsi.
Dengan kata lain korupsi selalu melibatkan sistem dan manusia secara bersamaan.
Artinya "Korupsi" selalu membutuhkan sistem, termasuk manusia yang akan menjalankannya dengan senang hati, tulus dan sesadar-sadarnya.
Sebagai contoh pada kasus "korupsi" daging sapi, korupsi disana direduksi menjadi permasalahan individual
yaitu kerjaan segelintir "orang serakah dengan jubah ulama".
Di sini kemudian tuduhan korupsi tadi terasa personal dan menjadi ganjil.
Pertama dalam sistem perdagangan yang sifatnya kartel seperti daging sapi,
maka para pedagang perlu menetapkan prices & level produksinya
berdasarkan kompetitornya. Berapa jumlah produk yg dilepas kompetitor
maka disana mereka baru menentukan batas profitnya. Itu karena
permintaan tidak hanya ditentukkan oleh konsumen tetapi juga regulator
seperti pemerintah, badan-kesehatan dll.. Sebab adanya trade barriers
ini maka perusahaan perlu mengetahui apa yang tidak mereka ketahui berupa
asymetric information, apakah akan ada UU baru atau tata kelola baru dalam
perizinan atau tidak. Di sinilah kemudian birokrasi bermain dan private
sektor pun bersiap dengan sogok, uang pelicin, uang bantuan perjalanan,
dll demi memperoleh hak-hak eksklusif dari sertifikasi tadi.
Kedua, yang menjadi masalah adalah tidak semua orang paham bagaimana cara ini
bekerja.Ketidaktahuan bagaimana "korupsi itu bekerja" yang kemudian melahirkan
"pekerjaan-pekerja" berupa jasa informasi, jasa konsultasi, jasa
pengawalan, jasa penghubung, jasa dengar, jasa komisi, & segala jasa
yg memunculkan tokoh seperti; Fathonah, Nadzarudin, Gayus, Bunda Puteri,
Punda Acih, Ayin, ayeng, Ayong, dst-dst sebagai para peluncur. Pada
kasus MUI muncul nama AS an ES para broker yang menjadi penghubung luar
& dalam.Mereka dibutuhkan itu karena memang ada kebutuhannya. Para
Ulama, Ormas, Pejabat baru, atau klien-klien yang lugu. Sebab mereka
buta dgn sistem birokrasi & bagaimana cara mereka mencetak,
menyedot, menggeser, menggusur duit, yg sama sekali tdk terpikirkan.
Ketiga bahwa mereka punya jejaring dan keahlian. Pada kasus Fathanah dan Nazarudin misalnya kita
melihat bahwa "para peluncur" ini bisa menyeret petinggi dan tokoh
sekarismatik Lufti Hasan Ishak dari PKS, Anas dari Partai Demokrat dan sekarang
ulama-ulama di MUI. Mereka mau menjadi kaki tangan dari ulama, politisi
karena itulah pekerjaan mereka; membuat tangan orang lain bersih dan
menjaga nama baik mereka-mereka yang dianggap berintegritas tinggi tetapi
pada akhirnya harus menggunakan tangan "orang" seperti mereka untuk
memeras.
Tidak mudah membayangkan punya pekerjaan sebagai 'peluncur' dan 'birokrat
abdi dalam' ini karena mereka bekerja menetap di sana, sementara pejabat
dan para politisi hanya sekedar mampir. Mereka faham bagaimana uang bisa
dikeluarkan dari bisnis daging besar ini. Mereka sama sekali pun tak
faham bagaimana melakukan deal-deal dengan private sector, apalagi di negeri
orang.
Barangkali saja, orang seperti Lutfi Hasan Ishak dari PKS yang punya niat baik dengan
menyederhanakan rantai birokrasi korupsi daging sapi, yang menurutnya
merugikan konsumen. Tetapi ia sekali lagi mungkin terlalu lugu memahami
jejaring kerja sistem yang masif dan laten (dan sudah terbentuk sejak
masa orde-baru) dan akhirnya terjebak dengan "maaf", kasus yang aneh
seperti urusan mobil, dan menikahi anak gadis ABG.
Di sini kemudian mengapa persoalan korupsi tidak dapat dilihat kasusnya
orang per orang atau satu per dua lembaga apalagi menuduh si 'peluncur' sebagai pelaku-pelaku tunggal.
Jejaring kerjanya harus difahami dulu, betul-betul difahami, baru kita dapat melihat pola-pola transaksional tadi.
Sekian dan Terimakasih.
Merdeka !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar