Sabtu, 29 Agustus 2015


Pancasila Sebagai bingkai NKRI.
BerPancasila Sudah Pasti Bermental Baja!
Pasca reformasi, pancasila sepertinya tidak lagi menjadi pandangan hidup bernegara kita, bahkan sudah dipandang sebelah mata. Persepsi seperti ini sangat wajar akibat pengerdilan pancasila oleh orde baru lewat idoktrinasi, pemberlakuan asas tunggal, yang intinya berlindung di balik asas tunggal pancasila untuk melanggengkan kekuasaan yang sama sekali tidak bersenyawa dengan nilai pancasila itu sendiri. Kemudian dilanjutkan oleh efouria reformasi yang tak tentu arah.
Padahal Pancasila secara historis lahir dari kedewasaan & kesadaran dari semua kelompok untuk hidup bersama dalam bingkai NKRI. Pancasila tidak lahir begitu saja tanpa proses yang panjang.
Pembahasan sila pertama diwarnai dengan perdebatan tentang hubungan negara dan agama. Kelompok Islam menginginkan tidak ada pemisahan antara negara dan agama, sedangkan kelompok lain menginginkan pemisahan secara tegas antara negara dan agama (negara sekuler). Namun akhirnya disepakati bahwa indonesia bukan negara agama namun juga bukan negara sekuler (menafikan agama), tetapi sebagai negara yang mengakomodasi kepentingan agama. Keputusan ini terang saja mengecewakan kelompok islam dan menjadi issu politik pada pemilu 1955, namun ternyata masyumi yang mengusung issu ini tdk memenangkan pemilu secara mutlak untuk mengganti pancasila. pada kenyataan ini Natsir dengan tegas mengatakan bahwa kita memperjuangkan kepentingan islam lewat bingkai konstitusi, dan tidak dibenarkan dengan jalan yang lain. sungguh sebuah kedewasaan bernegara ditunjukkan oleh beliau. Subhanallah.
Pembahasan sila kedua, dimana masalah internasionalisme, egalitarianisme dan issue HAM telah menjadi pertimbangan untuk dimasukkan kedalam konstitusi, namun mereka tidak bisa menerima sikap hidup individualisme dan liberalisme, baik secara filosofis maupun dengan melihat aspek historis bangsa.
Sehingga keadilan dan beradab menjadi kunci nilai-nilai humanisme.
Pada sila ketiga dengan tegas sukarno menyatakan bahwa nasionalisme yang kita inginkan adalah nasionalisme yang menempatkan bangsa kita sejajar dengan bangsa lain, tidak merasa sebagai bangsa yang lebih hebat dengan bangsa lain sehingga terjerumus pada chauvinisme. Sukarno menegaskan bahwa Indonesia adalah negara semua untuk semua, bukan negara untuk kaum bangsawan saja, atau untuk kelompok tertentu saja. Itu lah inti kata persatuan.
Pada pembahasan sila keempat lebih diwarnai diskusi mengenai model demokrasi yang cocok untuk bangsa. Para pemikir bangsa bersepakat menolak demokrasi yang liberal, namun lebih mengutamakan musyawarah dan perwakilan. Alasan yang kuat adalah aspek historis bangsa yang lebih cocok dengan musyawarah dan sistem perwakilan.
Pada sila kelima, founding fathers secara tegas menginginkan bahwa demokrasi tidak boleh hanya terjadi dibidang politik tanpa membawa dampak nyata pada kemakmuran rakyat. Perlu keberpihakan besar negara untuk kepentingan rakyat, menghindari konglomerasi yang menguntungkan hanya segelintir orang untuk terciptanya keadilan ekonomi.
Seyogyanya Pancasila tidak dijadikan dogma yang bebas kritik seperti jaman orde baru, pancasila adalah falsafah negara karya anak bangsa yang terbuka untuk berinteraksi dengan pemikiran generasi penerusnya agar mampu mewujudkan cita -cita kemerdekaan indonesia.
Pancasila cepat atau lambat akan menjadi 'kalimatun sawa', titik temu keragaman yang menyatukan bangsa ini. Pengambilan keputusan dalam kehidupan berbangsa harus melalui proses musyawarah.
Dalam Piagam Madinah kita dapat melihat masyarakat Madinah dipersatukan dalam satu komunitas bukan karena persamaan darah, teritorial atau agama. Tetapi diikat oleh ketundukan kepada hukum bersama, begitupula dengan Pancasila yang mempersatukan Indonesia.
Bung Karno pernah berkata, seekor rajawali tidak akan menjadi burung nuri walau dipenjara. Hal ini berbeda dengan jargon revolusi mental, sedangkan karakter kekuatan mental yang sebenarnya tidak tercemin lewat regulasi atau kebijakan yang primer dan urgent untuk rakyat, dan bukan didikte alur pasar baik OPEC, Washinton maupun Beijing. Rajawali tetap saja menjadi rajawali, dan nuri tetap nuri. Semua terlihat dari kebijakannya
Proyek investasi asing seharusnya tetap dalam kerangka kedaulatan negara. Bumi, air dan kekayaan alam adalah milik negara. China boleh saja investasi tetapi kedaulatan tetap milik Indonesia, investasi tidak boleh mendikte kedaulatan negara kita!. Kondisi yang terjadi saat ini cabang-cabang produksi malah dikuasai oleh orang perorangan digunakan seluas-luasnya untuk kepentingan asing. Sementara di dalam negeri sedang banyak PHK dan pengurangan karyawan dimana-mana dikarenakan pengurangan biaya operasional akibat melonjaknya nilai tukar dollar, justru pegawai-pegawai datang dari china untuk melakukan infrastruktur. Naudzubillah Min Zalik. Negara telah gagal memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Jangankan memberi ruang-ruang kepada bangkitnya usaha kecil & menengah, menjaga agar tidak ada PHK saja tak mampu.
Kita seharusnya bersikap mandiri dalam menentukan kebijakan apapun, bukan merupakan pilihan Washington ataupun pilihan Beijing. Seharusnya pemerintah menjunjung kedaulatan rakyat dan bukannya kedaulatan pemodal asing. Hutang Luar Negeri melesat tinggi dengan pasti.
Sekarang ini kebijakan ekonomi makin tidak merdeka, pemerintah hanya mengekspor bahan-bahan mentah. Menjual semurah-semurahnya bahan mentah tersebut dan kemudian membeli semahal-mahalnya produk asing.
Seharusnya dilakukan inclusive growth, dimana terdapat penyeimbangan antara angka pertumbuhan dengan angka pemerataan. Kemudian diperkuat dengan penguasaan negara dalam sektor penting untuk kemakmuran rakyat.
Noted : Mental Rajawali selalu berbeda dengan burung nuri. Mental Rajawali selalu memiliki keberanian mental untuk mandiri walaupun harus dipenjara!

PERANG ASIMETRIS
Sebagai info dan renungan untuk bangsa Indonesia

■ Perang Asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara non militer, tetapi memiliki daya hancur tidak kalah hebat bahkan dampaknya lebih dahsyat dari perang militer.

◆ Sasaran Perang Asimetris ini ada tiga :

1. Membelokkan sistem sebuah negara sesuai arah kepentingan kolonialisme/kapitalisme.

2. Melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat.

3. Menghancurkan 'food security' (ketahanan pangan) dan 'energy security' (jaminan pasokan dan ketahanan energi) sebuah bangsa, selanjutnya menciptakan ketergantungan negara target terhadap negara lain dalam hal 'food and energy security'.

◆ Bentuk "Perang Asimetris" diantaranya melalui "mengubah kebijakan negara sasaran" dengan ciri non kekerasan.

● Pertanyaannya kini, “Bagaimana modus Perang Asimetris yang sering dilakukan oleh Cina?”

◆ Sejak reformasinya, Cina mengalami masa transformasi dan konvergensi ke arah kapitalisme yang melahirkan 'One Country and Two System', yakni sistem negara dengan elaborasi ideologi sosialis/komunis dan kapitalis.

* Dengan kata lain, model perekonomian boleh saja bebas sebagaimana kapitalisme berpola mengurai pasar, namun secara politis tetap dalam kontrol negara cq Partai Komunis Cina.

* Artinya, para pengusaha boleh didepan membuka ladang-ladang usaha diluar negeri, tetapi ada 'back up' militer (negara) dibelakangnya.

◆ Itulah titik poin konsepsi 'One Country and Two System' yang kini tengah dijalankan oleh Cina di berbagai belahan dunia.

◆ Ciri lain Cina dalam menerapkan reformasi politiknya, jika kedalam gunakan "pendekatan Naga" terhadap rakyatnya, sangat keras, tegas, bahkan tanpa kompromi demi stabilitas internal negeri. Sebaliknya ketika Cina melangkahkan kaki keluar, tata cara diubah menerapkan "pendekatan Panda" (simpatik), dalam bentuk :

* Menebar investasi atau “bantuan dan hibah” dalam wujud pembangunan gedung-gedung, infrastruktur dan lainnya, sudah barang tentu dengan persyaratan “tersirat” -nya yang mengikat.

◆ Pendekatan Panda merupakan ruh atau jiwa pada model "perang asimetris" yang sering dikerjakan oleh Cina.

■ 'Turnkey Project Management', adalah sebuah model "investasi asing" yang ditawarkan dan disyaratkan oleh Cina kepada negara peminta dengan “sistem satu paket,” artinya :

* Mulai dari 'top management', pendanaan, materiil dan mesin, tenaga ahli, bahkan metode dan tenaga (kuli) kasarnya di 'dropping' dari Cina.

◆ Modus Turnkey Project ini relatif sukses dijalankan di Afrika sehingga warganya migrasi besar-besaran bahkan tak sedikit yang menikah dengan penduduk lokal. Mereka menganggap Afrika kini sebagai tanah airnya kedua.

● Beberapa investasi Cina di Indonesia, sebenarnya telah menerapkan modus ini. Memang bukan barang baru, karena sejak dulu sudah berjalan antara lain :

● Pembangunan pembangkit tenaga listrik di Purwakarta, hampir semua tenaga kerja mulai dari direksi hingga kuli bangunan didatangkan dari negeri Cina.

● Demikian juga yang akan terjadi di Medan, Cina membawa sekitar 50.000 orang tenaga kerjanya dari Cina.

● Bila investasinya di Medan saja mendatangkan sekitar 50.000-an orang, lalu berapa warga lagi bakal migrasi melalui investasi Cina pada 24 pelabuhan laut, 14 pelabuhan udara dan sekitar 8000-an Km jalur Kereta Api di Indonesia, selain rencana mempererat hubungan bilateral Cina - Indonesia menargetkan pertukaran sepuluh juta warganya dalam berbagai bidang pada dekade 2020 an nanti?  
◆ Rencana tersebut tentu berpeluang menimbulkan persaingan budaya antara warga Cina dengan pribumi. Bisa terjadi pertarungan untuk mempertahankan siapa lebih dominan, mengingat jumlah 10 juta jiwa itu bukan sedikit.

◆ Bila dikaitkan dengan pemahaman "Perang Asimetris" dan kebijakan "One County and Two System" nya, maka "Turnkey Projek Manajement", pada hakekatnya merupakan "Perang Asimetris" sebagai strategi Cina untuk menguasai Indonesia secara non militer.

* Secara perlahan memasukkan warganya ke Indonesia, kemudian mendesak keluar warga pribumi Indonesia pada peran di sektor-sektor strategis di Indonesia diganti warga Cina, hingga akhirnya, pemilik Indonesia bukanlah orang-orang keturunan nusantara, tetapi orang-orang asli Cina.

■ Pertanyaan sederhana :

* Apakah Pemerintah tidak mengetahui Skenario ini sebagai Ancaman Negara atau justru merupakan bagian dari Skenario ini ?

◆ Jawabannya adalah :

* 'Let them think, let them decide' (biarlah rakyat berfikir dan biarkan rakyat memutuskan) dalam menilainya sebagai "pemilik kedaulatan". Walaupun Kelas sosial mayarakat Kita masih dlm kategori Hearing & Watching Society, belum mengarah ke 'reading' society (kuat analisa) apalagi 'writing' society (kreatif), tapi konsekuensi berdemokrasi adalah biarkan masyarakat sendiri yg memutuskan, walaupun pahit & getir.
Wallahualam Bishshawab
(Semoga Bermanfaat Untuk Perbendaharaan Wacana)

Senin, 02 Februari 2015

Jika kita kritis pada pejabat pemerintah dari presiden hingga aparatur pemerintah lainnya itu wajar, karena mereka adalah pejabat publik yang digaji, makan, tidur, blusukan, naik mobil dibayar dan difasilitasi dengan dana publik yang diambil langsung tak langsung dari pajak publik.

Harus dihindari kritik yang menuduh, mefitnah, atau menyerang pribadi dan fisik seseorang !.

Kritik harus pada kebijakkan (policy) yang diambil dan dikerjakan pejabat. Dan tidak perlu menunggu sampai misalnya habis masa jabatan, ini karena jika anda setuju pemilu langsung, maka kritik dan ketidak percayaan dapat langsung pula disampaikan pada saat kebijakan tadi dikeluarkan.

Sebab tidak ada lagi mekanisme pertanggungjawaban Presiden/Menteri oleh Dewan/Majelis atau Badan-badan lainnya.

Konyol kepada orang-orang yang berkata bahwa; belum setahun sudah dikritik, baru mulai sudah digangguin, apalagi yang bertanya: "Emang apa sih yang udah lu kerjain buat bangsa dan negara ini?"
Sikap konyol biasa terjadi pada mereka yang baru melek politik sejak pilpres 2014. Paham kebijakan (policy) pun sedikit, turun aksi kejalan pun tidak pernah, advokasi masyarakat miskin pun tidak pernah, apalagi merasakan penjara penguasa yang zalim..
Semoga mereka diberikan hidayah agar bisa berpikir rasional, Objektif dan Bijaksana. Karena baik atau buruknya mereka yang 'konyol' tadi tetap bagian dari Bangsa Indonesia yang notabene adalah saudara kita juga.

Hasta La Victoria Siempre Indonesia !

Arah Perang Minyak Arab Saudi

- Gain Seeking Mentalitas dalam Hubungan Internasional via Perang Minyak-

Pernyataan menteri perminyakan Saudi Ali al-Naimi mengatakan bahwa Saudi tidak akan mengendurkan produksi minyak meski harga minyak curah turun hingga 20 dollar saja per barel dan akan menyebabkan defisit pendapatan negara tahun-tahun ke depan dapat dilihat dari kacamata teori neo-realis hubungan kerja sama internasional sebagai mentalitas baru cari untung (new gain seeking mentalities).

Bisnis minyak meski dalam pandangan teori ego-rasional (rational egoist) adalah bagaimana produsen memperoleh keuntungan sebesarnya bagi kepentingan domestiknya, namun dalam kenyataannya ia punya sejarah panjang relasi kekuasaan, konflik, dan keamanan (power, conflict, and security). Dimana tujuan lainnya adalah negara2 pengekspor selain perlu mempertahankan tujuan utamanya (absolute) yaitu revenue keuntungan ke dalam negeri, mereka juga harus berhadapan dengan tujuan relatif (relative) yaitu revenue dinamis yang berbeda-beda yang dimainkan baik kompetitor maupun lawan ekonomi-politik.

Perilaku menyesuaikan terhadap tantangan perubahan konstelasi ancaman2 ini yang menjadi kesimpulan dari tabiat ingin meraih keuntungan (gain-seeking). Melihat apa yang dilakukan oleh Saudi memang tidak terlalu mudah dibaca lewat kacamata mikroekonomi dan teori ego-rasional, tetapi bahwa mereka sedang memainkan -new challenging of constellation of threats- dapat kita baca dengan teori posisionalis strategis, yang artinya Saudi sedang memainkan distribusi kerjasama kekuatan dan distribusi konflik.

Untuk menerangkan neo-realitas yang serba anomali ada beberapa poin yang perlu difahami.

Pertama, yang perlu kita lihat adalah bahwa Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, dll.. adalah negara anggota eksportir minyak OPEC, yang selalu terlibat dalam hubungan dilematis bekerjasama atau perang (ekonomi-politik-militer).

Hubungan antara harga minyak, stabilitas, perdamaian, perang dan konflik dan mempengaruhi mikroekonomi bangsa-bangsa, membuat koalisi OPEC adalah koalisi internasional yang berbasiskan kepada apa yang disebut doppelten sicherheitdillema, dilema standar ganda.

Di satu sisi mereka saling membenci, namun di sisi lain mereka saling membutuhkan agar harga minyak stabil dan dengan sendirinya mereka tetap mendapatkan modal untuk memperkuat posisi politik, ekonomi, serta mendanai anggaran militernya (Robert Mabro). Di sini teori ego-rasional masih dapat diterima.

Kedua, adalah soal rational egoist baru. Keberadaan mereka yang disebut sebagai pemasok utama (Venezuela 24%, Arab Saud 22%, Iran 13%, Irak 12% EUA,Qatar,8% Libya 4%) dengan cakupan konsumsi 82% minyak dunia membuat negeri2 ini berhak menjadi penentu berapa keuntungan maksimum yang dapat mereka peroleh dari hubungan minyak-harga-stabilitas.

Di sini muncul kesadaran dasar rational egoist, yaitu pada dasarnya negara-negara ini ingin memperoleh harga yang sebaik-baiknya bagi negeri mereka dengan tetap menjaga "utilitas" dan alat-alat produksinya.

Yang lalu menempatkan masing-masing pihak dengan kekuatan-kekuatan produksinya tadi menentukan secara distribusional berapa harga ideal bagi mereka pribadi. Misal bagi Saudi yang memasok 22% harga 100 dollar itu cukup, sementara Iran 130 dollar karena ada embargo, dan sebagian besar lainnya sepakat damai di 120%.

Persoalan yang sering terjadi dari kesepakatan antar negara-negara ini adalah bahwa masing-masing dari mereka juga melakukan perdagangan minyak lewat jalur-jalur lain yang disembunyi-sembunyikan atau tipu-tipu. Misal bagi Iran yang diembargo, demi mengejar optimum gain 130 dollar yang mereka butuhkan untuk menyimbangkan anggaran negaranya.

Maka mereka menjualnya lewat perantara lain seperti Cina, India, Rusia, agar terpenuhi apa yang disebut pareto optimal. Syaratnya utilitas dan alat-alat produksi dari masing-masing produsen tidak boleh terganggu. Ini artinya wilayah di Negara-negara produsen kuat (kecuali Irak dan Libya) tidak boleh ada konfik dan sebagai gantinya konflik harus dipindahkan ke tempat lain, Syiria, Irak Utara, Libya, Aljazair, atau Sudan misalnya.

Ketiga, munculnya Posisionalis Strategis atau neo-realis
Melihat bahwa dalam kenyataannya gain atau perolehan sendiri bersifat dinamis maka sekelompok orang melihat bahwa teori rasional egois tidak cukup dapat menerangkan hubungan-hubungan yang semakin lama semakin anomali dan tidak umum (meskipun sebetulnya normal juga sih).

Misalnya dengan apa yang dilakukan Saudi dengan menjual minyak semurah-murahnya yang menyebabkan defisit bagi negerinya dan diperkirakan menghancurkan negara tadi dalam 5 tahun ke depan maka kita katakan mustahil mereka melakukannya tanpa mempertimbangkan gain (perolehan). Yang jelas Saudi harus punya cadangan duit minimum 5 tahun dalam perang harga super murah yang baru terjadi kali ini. Konsekuensinya realitasnya gain-seeking dari rasionalis-egois itu sekarang berbeda, bukan lagi maksimum tetapi sekedar lebih atau dengan tetap mencari posisi strategis atau neo-realis.

Di sini kemungkinan terjadinya penawaran relative-gains antar aktor-aktor pemain sekaligus tawaran kemungkinan perubahan kongsi-kongsi kepentingan di dalamnya. Ini semakin menunjukkan bahwa apa yang dicari Saudi lewat perang harga murah ini adalah melihat tantangan konstelasi ancaman ke depan, dimana mereka membutuhkan kawan-kawan dan mengundang terbangunnya negara-negara elit grup dari kartel minyak baru. Singkatnya Saudi membutuhkan AS sebagai mitra koalisi kartelnya, tetapi ia membutuhkan kawan-kawan baru.

Tentu saja yang diharapkan terpukul adalah Iran dan Rusia sebagai produsen kedua di jajaran OPEC dan non OPEC. Tetapi kedua negara ini sudah terbiasa mengalami embargo dan sanksi ekonomi tidak hanya pembatasan komoditas minyak mentah dalam satu dua tahun ke belakang. Selain Rusia mengutamakan pasar domestik dan Iran tidak menempatkan untung minyak sebagai pondasi pembangunan ekonominya dimana hal ini tidak akan dibaca mereka sebagai tantangan konstelasi ke depan.

Saudi tidak dalam posisi dapat menyerang dalam perang minyak era sekarang. Gain seeking mentalitas mereka akan berbeda kali ini, karena yang dimainkan adalah harga rendah (bukan harga jual mahal) dimana mereka terpaksa pelan-pelan tarik uang tabungannya.

Kecuali AS dan para sekutunya di eropa misalnya, jauh akan lebih tenang berbisnis gas dengan rusia daripada membeli minyak murah hanya sementara yang beresiko bagi rencana-rencana pembangunan mereka. Mereka juga punya pengalaman krisis minyak 1980, perang iraq-iran, perang irak-kuwait, dll. menempatkan eropa tidak dalam banyak pilihan juga dalam perang minyak kali ini.


Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Dalam kondisi carut marut politik ekonomi global saat ini, terdapat beberapa manuver politik yang dilakukan pemerintahan baru sekarang yang membuat sesak jantung ;
Pertama, Kebijakan menaikan harga BBM pada saat harga minyak dunia sedang menurun melahirkan banyak pertanyaan dibenak masyarakat. Bagi yang pro-Jokowi, mungkin Jokowi dengan segala kejeniusannya melakukan hal ini untuk tujuan yang sangat mendasar dan strategis jangka panjang. Namun yang mengagetkan adalah, hanya dalam waktu kurang lebih 1 bulan, harga BBM kembali diturunkan. Alasannya adalah harga minyak dunia sedang turun. Padahal pada saat harga BBM dinaikkan, justru harga minyak dunia dalam tahap awal penurunan. Hal ini tentunya melahirkan kebingungan, pertama, bagaimana mungkin negara dengan para ahli ekonominya yang cerdas tidak mengetahui kecenderungan ekonomi global saat ini, terlebih soal harga minyak dunia ?
Kedua, bila alasan penurunan harga BBM adalah turunnya harga minyak dunia, ini berarti harga BBM telah dilepas ke mekanisme pasar dunia. Dengan kata lain, tidak ada lagi subsidi untuk rakyat, yang otomatis menjaga harga-harga tetap dalam posisi yang stabil. Lantas kemana argumentasi yang mengatasnamakan alih fungsi subsidi, isu ekonomi kerakyatan dan Trisakti yang diusung pemerintahan ini. Alih-alih menjadi pewaris ide Soekarno, ekonomi Indonesia justru menjadi sangat liberal pada saat pemerintahan di pimpin oleh orang yang mengatasnamakan diri sebagai anak ideologis Soekarno.
Ketiga, Bayangkan masyarakat sebuah negara dengan pemerintahan yang baru seumur jagung, yang sedang dalam kondisi pembenahan dipaksa bersaing dipasar global yang anarkis tanpa perlindungan regulasi yang kuat untuk rakyat dari pemerintahan yang kuat. Belum lagi bila dilkaitkan dengan adanya program Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlangsung 2015. Ini jelas sebagai tanda bahwa semua barang-barang mulai dari dodol garut, sepatu kulit Cibaduyut hingga BBM akan bersaing dalam pasar bebas.  Padahal asumsi sederhana nya, bila kita menyanggupi ikut dalam MEA, maka sudah seharusnya pemerintah melindungi rakyat dengan menjaga stabilitas harga dan supply barang-barang primer seperi BBM, Gas, Air, Listrik, tarif angkutan dan lain-lain. Dengan kata lain, semua sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat untuk bersaing seharusnya di supply dan dilindungi oleh pemerintah dengan regulasi yang ketat.
Keempat, Hal terakhir adalah kemampuan pemerintah untuk melakukan mitigasi resiko terhadap kebijakan yang sudah diambilnya sendiri. Dalam rentang waktu kurang dari 100 hari pemerintahannya, sudah membuat kebijakan dengan makanisme mitigasi yang kontroversial, yaitu menaikkan harga BBM pada saat harga minyak dunia sedang turun disatu sisi, namun di sisi lain tidak menjamin supply bahan-bahan pokok di pasar tradisonal.. Konsekuesinya adalah, harga-harga tersebut melambung tak terkendali sehingga mencekik perekonomian rakyat bawah.
Melihat performa pemerintahan sejauh ini, dan dihubungkan dengan analisa tentang kondisi global, akan sangat sulit memahami langkah apa saja yang akan dikeluarkan pemerintah dalam 1 bulan atau 1 tahun mendatang. Mengingat kebijakan yang dikeluarkan seperti tidak memiliki korelasi yang jelas dengan konstalasi global yang sedang terjadi. Padahal, dalam banyak pertemuan internasional seperti Rio+20 yang membahas tentang Sustainable Development juga sudah disinggung, bagaimana kemiskinan di sebuah desa bahkan rumah tangga di kawasan Sub Sahara, memiliki korelasi yang saling terkait dengan kebijakan ekonomi global. Jeffrey Sach dalam bukunya The End Of Poverty bahkan mengingatkan bahwa mekanisme perbaikan ekonomi internasional haruslah dimulai bersama-sama dari tingkat global. Sebab kemiskinan yang terjadi, tidak hanya disebabkan oleh lemahnya pemerintah sebuah negara, tapi lebih disebabkan oleh rembesan dari keserakahan dalam system pasar global. Sehingga modal manusia untuk melanjutkan hidupnya hilang atau tergadai, yang berujung pada kemiskinan ekstrim di berbagai belahan dunia.
Kita lihat saja nanti, ketika harga minyak dunia mengalami penurunan kembali, apakah pemerintah  akan ikut menurunkannya juga? Atau kembali keharga dijaman rezim lama? Kalau memang benar terjadi, maka jelas lah sudah bahwa harga BBM telah dilepas ke mekanisme pasar dunia. Dengan kata lain, tidak ada lagi subsidi untuk masyarakat.  Lantas argumentasi yang mengatasnamakan alih fungsi subsidi, isu ekonomi kerakyatan dan Trisakti yang diusung pemerintahan ini sebenarnya adalah klise.
Dalam kerasnya pertarungan ekonomi politik global saat ini, hanya pemerintah yang menjadi tumpuan rakyat untuk bisa survive. Dan pemerintah yang dimaksud itu adalah pemerintahan Jokowi-JK yang baru berumur kurang dari 100 hari ini. Bila pada masa perang dingin, rembesan konflik negara-negara adidaya menyebabkan 1 juta orang terbunuh di Kamboja ; oleh Rezim polpot dan lebih dari 2 juta orang terbunuh di Indonesia ; yaitu pembantaian manusia yang diduga PKI tanpa proses peradilan. Maka dalam perang ekonomi global kali ini, rembesan konflik tersebut akan menyebabkan kemiskinan massal dan kerusuhan sosial politik di negara-negara berkembang. Dan ini akan lebih banyak memakan korban dibanding  pada masa perang dingin. Cukup lah konflik-konflik politik Rwanda dengan pembantaian genoside suku tutsi serta konflik politik Crimea dengan terpecahnya konflik Pro AS dgn Pro Rusia terjadi disana, jangan sampai ke Indonesia.
Hasta La Victoria Siempre Indonesia ! Mari Kita bangkit untuk melunasi hutang janji Kemerdekaan para founding fathers Republik ini dengan tetap berfikir rasional dan bijaksana.



  



Minggu, 11 Januari 2015

“Global War” dan Kebingungan Pemerintah Kita (Dalam Perspektif sederhana).

Pada prinsipnya, sebuah pembangunan kapasitas armada militer ditentukan oleh perspektif ancaman terhadap pertahanan Negara. Setiap 5 atau 10 tahun sekali, setiap Negara akan melakukan peninjauan ulang dan merevisi kerangka kebijakan mereka tentang ancaman pertahanan. Terkhusus untuk Rusia, mungkin ini adalah dampak dari kepemimpinan para bekas anggota KGB sepeti Putin dan Medvedev, perspektif pertahanannnya tetap neo-realis. Sehinga tidak mengherankan bila pola kebijakannnya ditentukan oleh logika “survival of the state”. Dalam pandangan mereka, Nato, UE, dan AS tetap menjadi sebuah ancaman nyata. Sehingga pembangunan armada militer menjadi urgensi bagi mereka. Terlebih setelah kasus Crimea, perspektif ancaman tersebut berubah menjadi sebuah kekhawatiran.  Bersadarkan hal inilah, sejak 2012 Rusia membangun kapasitas militernya dengan cukup agresif. Ditambah lagi adanya penguatan kerjasama dengan China dan beberapa Negara yang tergabung dalam BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South Africa).
Untuk membangun sebuah kekuatan militer, maka dana yang dibutuhkan tidak sedikit. Untuk negara-negara seperti Rusia, yang saat ini sedang dilanda sanksi ekonomi oleh AS dan sekutunya, profit terkecil sekalipun akan sangat berarti. Namun profit yang didapat dari minyak, merupakan salah satu dana pendukung yang sangat dibutuhkan oleh Rusia saat ini.
Disisi lain, AS sedang mengalami kelelahan dan mungkin juga kekalahan, setelah bertahun-tahun menjalankan operasi militer di Timur Tengah. Kondisi ini menyebabkan cengkraman hegemoni AS menjadi kendur di hampir semua kawasan di dunia, selain Asia pasifik. Di Timur Tengah, AS mendapat perlawanan yang terus menerus. Di Afrika saat ini China sudah mulai menguasai hampir semua karjasama pembangunan infrastruktur di semua negara Afrika. Di kawasan Eurasia, saat ini Rusia sudah membangun kerjasama strategis dengan mantan-mantan pecahan Uni Soviet di masa lalu. Di Amerika latin saat ini bermunculan para pemimpin yang “anti-AS”, terlebih pasca isu terbunuhnya Hugo Chaves. Sedang di Eropa sendiri, yang notabene adalah “sahabat baik AS” sudah berkumpul menjadi sebuah system Supra-nasional dengan Uni Eropa. Sehingga tidak mudah bagi AS menjinakkan kebijakan negara-negara di kawasan ini. 
Dengan mengendurnya cengkraman AS terhadap kawasan, maka bermunculan kekuatan baru yang menguasai kawasan tersebut. Di Eurasia dan Timur Tengah muncul Rusia sebagai backing Iran dan Suriah. Di Afrika muncul China dan Afrika Selatan. Dan dia Amerika Latin muncul Brazil. Dan Asia Tenggara, muncul China dan India. Semua kondisi inilah yang kemudian melahirkan kebijakan AS untuk menarik pasukan dari Timur tengah ke wilayah Asia Pasifik. Sebab Rusia, China, India, dan Brazil, merupakan negara yang masuk dalam regionalism kawasan ini. Secara sederhana, AS ingin melakukan pertarungan hidup-mati nya di kawasan. Dengan asumsi, menjadi hegemoni dikawasan ini secara otomatis akan memantabkan kembali hegemoni global AS.
Saat ini, pertempuran jilid I dimulai. AS dengan sekutu minyak nya menggunakan OPEC, untuk melakukan stabilisasi produksi dan supply minyak dunia ditengah kondisi kelesuan ekonomi global saat. Konsekuensinya yaitu terjadinya penurunan harga minyak dunia. Pada saat supply tinggi, sedang konsumsi rendah, permintaan menjadi rendah pula, sehingga harga akan otomatis turun. Tujuannya jelas, melemahkan ekonomi Rusia, termasuk juga Iran yang sedang membutuhkan banyak modal dalam membangun persenjataannya. Dalam pernyataannya, Raja Arab Saudi menyatakan bahwa mereka tidak akan mengurangi supply, meskipun beberapa negara produsen sudah mendesak untuk mengurangi. Dengan menurunnya harga minyak, dipastikan keuntungan yang didapat negara-negara produsen minyak yang tergabung dalam OPEC seperti Nigeria, Rusia, Iran Venezuela dan lain-lain, akan mengalami pengurangan. Dalam prediksi beberapa pengamat ekonomi, bila kondisi ini terus berlangsung, maka harga minyak dunia akan terus turun, bahkan mungkin menyentuh angka $30/barrel. Angka ini lebih rendah dari positioning harga minyak pada saat 2007-2008 yang berujung pada bencana ekonomi global.
Dalam kondisi carut marut politik ekonomi global saat ini, terdapat beberapa manuver politik yang dilakukan pemerintahan baru sekarang yang membuat sesak jantung ;
Pertama, Kebijakan menaikan harga BBM pada saat harga minyak dunia sedang menurun melahirkan banyak pertanyaan dibenak masyarakat. Bagi yang pro-Jokowi, mungkin Jokowi dengan kejeniusannya melakukan hal ini untuk tujuan yang sangat mendasar dan strategis jangka panjang. Namun yang mengagetkan adalah, hanya dalam waktu kurang lebih 1 bulan, harga BBM kembali diturunkan. Alasannya adalah harga minyak dunia sedang turun. Padahal pada saat harga BBM dinaikkan, justru harga minyak dunia dalam tahap awal penurunan. Hal ini tentunya melahirkan kebingungan, pertama, bagaimana mungkin negara dengan para ahli ekonominya yang cerdas tidak mengetahui kecenderungan ekonomi global saat ini, terlebih soal harga minyak dunia ? Sedang para pengamat kacangan di medsos saja sudah berkicau soal ini, bahkan masih menyeret-nyeret konflik pilpres 2014. Bukan hanya itu, media-media on line, elektronik pun tidak luput membuat kisruh masyarakat. Dapat dilihat dari Facebook, twitter, Path dan media lainnya, betapa bangganya para pengguna media social memposting web para pengamat kacangan atau berita-berita provokatif.  Sepertinya mereka senang untuk melihat konflik di arus bawah. Padahal, seharusnya sudah bukan lagi mengarahkan masyarakat untuk melihat kebelakang, tetapi seharusnya membentuk pola pikir masyarakat untuk bagaimana kritis dalam mengawal pemerintahan yang syah saat ini.  Kedua, bila alasan penurunan harga BBM adalah turunnya harga minyak dunia, ini berarti harga BBM telah dilepas ke mekanisme pasar dunia. Dengan kata lain, tidak ada lagi subsidi untuk rakyat, yang otomatis menjaga harga-harga tetap dalam posisi yang stabil. Lantas kemana argumentasi yang mengatasnamakan alih fungsi subsidi, isu ekonomi kerakyatan dan Trisakti yang diusung pemerintahan ini. Alih-alih menjadi pewaris ide Soekarno, ekonomi Indonesia justru menjadi sangat liberal pada saat pemerintahan di pimpin oleh orang yang mengatasnamakan diri sebagai anak ideologis Soekarno. 
Ketiga, Bayangkan masyarakat sebuah negara dengan pemerintahan yang baru seumur jagung, yang sedang dalam kondisi pembenahan dipaksa bersaing dipasar global yang anarkis tanpa perlindungan regulasi yang kuat untuk rakyat dari pemerintahan yang kuat. Belum lagi bila dilkaitkan dengan adanya program Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlangsung 2015. Ini jelas sebagai tanda bahwa semua barang-barang mulai dari dodol garut, sepatu kulit Cibaduyut hingga BBM akan bersaing dalam pasar bebas.  Padahal asumsi sederhana nya, bila kita menyanggupi ikut dalam MEA, maka sudah seharusnya pemerintah melindungi rakyat dengan menjaga stabilitas harga dan supply barang-barang primer seperi BBM, Gas, Air, Listrik, tarif angkutan dan lain-lain. Dengan kata lain, semua sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat untuk bersaing seharusnya di supply dan dilindungi oleh pemerintah dengan regulasi yang ketat.
Keempat, Hal terakhir adalah kemampuan pemerintah untuk melakukan mitigasi resiko terhadap kebijakan yang sudah diambilnya sendiri. Dalam rentang waktu kurang dari 100 hari pemerintahannya, ada dua sample kebijakan dengan makanisme mitigasi yang kontroversial, yaitu menaikkan harga BBM pada saat harga minyak dunia sedang turun disatu sisi, namun tidak menjamin supply bahan-bahan pokok di pasar tradisonal disisi lain. Konsekuesinya adalah, harga-harga tersebut melambung tak terkendali sehingga mencekik perekonomian rakyat bawah. Kedua adalah peristiwa jatuhnya Pesawat Air Asia jurusan Surabaya-Singapura yang disinyalir  mengandung unsur kelalaian pengelola disebabkan murahnya ongkos pesawat tersebut. Untuk memitigasi resiko terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan, maka pemerintah melakukan penghapusan terhadap penerbangan murah, namun untuk penerbangan domestik  saja. Sungguh sebuah regulasi aneh dimana pemerintah mengeluarkan peraturan tentang penetapan tarif batas atas penumpang kelas ekonomi untuk angkutan udara berjadwal di dalam negeri. Pesawat Air Asia yang jatuh adalah pesawat dengan rute penerbangan luar negeri, tetapi harga tiket murah yang dibatasi adalah tiket ekonomi untuk penerbangan domestik. Disaat daya beli masyarakat yang kian rendah, disisi lain tidak diimbangi dengan kebijakan yang bisa meringankan beban masyarakat.
Melihat performa pemerintahan sejauh ini, dan dihubungkan dengan analisa tentang kondisi global, akan sangat sulit memahami langkah apa saja yang akan dikeluarkan pemerintah dalam 1 bulan atau 1 tahun mendatang. Mengingat kebijakan yang dikeluarkan seperti tidak memiliki korelasi yang jelas dengan konstalasi global yang sedang terjadi. Padahal, dalam banyak pertemuan internasional seperti Rio+20 yang membahas tentang Sustainable Development juga sudah disinggung, bagaimana kemiskinan di sebuah desa bahkan rumah tangga di kawasan Sub Sahara, memiliki korelasi yang saling terkait dengan kebijakan ekonomi global. Jeffrey Sach dalam bukunya The End Of Poverty bahkan mengingatkan bahwa mekanisme perbaikan ekonomi internasional haruslah dimulai bersama-sama dari tingkat global. Sebab kemiskinan yang terjadi, tidak hanya disebabkan oleh lemahnya pemerintah sebuah negara, tapi lebih disebabkan oleh rembesan dari keserakahan dalam system pasar global. Sehingga modal manusia untuk melanjutkan hidupnya hilang atau tergadai, yang berujung pada kemiskinan ekstrim di berbagai belahan dunia.
Kita lihat saja nanti, ketika harga minyak dunia mengalami penurunan kembali, apakah pemerintah  akan ikut menurunkannya juga? Atau kembali keharga dijaman rezim lama? Kalau memang benar terjadi, maka jelas lah sudah bahwa harga BBM telah dilepas ke mekanisme pasar dunia. Dengan kata lain, tidak ada lagi subsidi.  Lantas argumentasi yang mengatasnamakan alih fungsi subsidi, isu ekonomi kerakyatan dan Trisakti yang diusung pemerintahan ini sebenarnya adalah klise.
Dalam kerasnya pertarungan ekonomi politik global saat ini, hanya pemerintah yang menjadi tumpuan rakyat untuk bisa survive. Dan pemerintah yang dimaksud itu adalah pemerintahan Jokowi-JK yang baru berumur kurang dari 100 hari ini. Bila pada masa perang dingin, rembesan konflik negara-negara adidaya menyebabkan 1 juta orang terbunuh di Kamboja ; oleh Rezim polpot dan lebih dari 2 juta orang terbunuh di Indonesia ; yaitu pembantaian manusia yang diduga PKI tanpa proses peradilan. Maka dalam perang ekonomi global kali ini, rembesan konflik tersebut akan menyebabkan kemiskinan massal dan kerusuhan sosial politik di negara-negara berkembang. Dan ini akan lebih banyak memakan korban dibanding  pada masa perang dingin. Cukup lah konflik-konflik politik Rwanda dengan pembantaian genoside suku tutsi serta konflik politik Crimea dengan terpecahnya konflik Pro AS dgn Pro Rusia terjadi disana, jangan sampai ke Indonesia.
Yang perlu dipahami adalah Indonesia merupakan negara Bangsa yang proses kelahirannya di sepakati oleh para pendiri bangsa dari berbagai suku bangsa dengan kekayaan alam yang melimpah serta kearifan lokal masyarakatnya yang kuat. Usia Indonesia saat ini menjelang 70 tahun, dimana diusia tersebut terjadi masa-masa kritis dengan acaman disintegrasi. Belajar lah dari pecahnya Yugoslavia yang bubar diusia 73 tahun. Krisis politik dan Ekonomi berefek terhadap pembantaian yang mengarah kepada genoside suku Bosnia yang akhirnya berdiri sendiri menjadi negara Bosnia. Begitu juga dengan Uni Sovyet yang bubar diusia 69 tahun dimana krisis Ekonomi dan Politik berefek kepada bergejolaknya gejolak-gejolak sosial di dalam negeri hingga akhirnya terjadi disintegrasi bangsa dengan pecahnya Uni Sovyet menjadi beberapa negara baru seperti ukraina, Uzbekistan dan lain-lain. Inilah titik awal dominasi AS dan Sekutunya (NATO) menghancurkan negara-negara bangsa, khususnya negara yang tergabung dalam Pakta Pertahanan 'Pakta Warsawa' dengan dalih Demokrasi, HAM. Krisis ini terjadi ketika AS dan sekutunya mulai mengatur pasar dunia, khususnya mengatur negara-negara penghasil minyak (OPEC) dan menguatnya pengaruh Washington Consensus yang melahirkan lembaga-lembaga donatur untuk negara-negara dunia ketiga dengan pra syarat mengikuti pola Demokrasi dan Ekonomi versi mereka, salah satunya adalah IMF yang mendonasikan uangnya untuk pemerintah Indonesia.      
Mirisnya, mayoritas masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat kelas menengah keatas nya sekalipun masih tidak mampu memahami realitas kondisi Bangsa ini. Bahwa apa yang terjadi sejak Regulasi Penanaman Modal Asing (PMA) dijaman Pemerintahan Soeharto hingga detik ini pemerintah tidak pernah lepas dari jerat-jerat politik asing, dimana cengkeraman terbesar datang dari AS dan sekutunya. Yang lebih miris lagi, rezim yang baru seumur jagung dan mengklaim dengan ajaran Trisakti nya, hingga detik ini tidak satupun melahirkan regulasi besar yang Pro Rakyat yang sama dengan prinsip ajaran Trisakti. Alih-alih justru masyarakat dibentuk dengan manajemen konflik baru, seolah-olah orang-orang yang tidak mampu bekerja adalah Legislatif. Sungguh miris, dimana fungsi Legilatif yang memang memiliki fungsi Crotolling di kategorikan sebagai Eksekutif yang memang sudah seharusnya bekerja untuk rakyat. Hingga pada akhirnya bangsa ini terbentuk dengan konflik, dibuat 'in watch looking', bukan 'All Out Looking', tapi yang sebenarnya terjadi adalah kemenangan negara donatur dengan regulasi via rezim yang berkuasa. Semakin banyak konflik, mereka semakin mencengkram kita lebih kuat lagi. Pemerintahnya tak berpihak kepada rakyat, legislatif nya sibuk dengan konflik yang tidak cerdas. Sungguh malang kondisi negara ini.

Pertanyaan sederhana untuk masyarakat Indonesia, "Apa masyarakat mengerti perihal Global War dan posisi Indonesia saat ini?“ "Apakah masih senang terbawa suasana konflik emosional pilpres?”, “Masih adakah hati nurani untuk berkontribusi kepada masa depan bangsa?”, “Masih mampukah bersikap kritis, objektif dan rasional dalam melihat persoalan bangsa?”. Semua  jawabnya ada di dalam hati masing-masing, serta melihat daya beli rumah tangga masing-masing. Jangan karena pola pikir dan wawasan politik yang sempit, maka banyak terjadi konflik horizontal. Ini Indonesia  Bekerja dan mengabdi lah kepada negeri ini sesuai dengan apa yang kita mampu tanpa syarat dan tanpa embel-embel termasuk dukung mendukung, kecuali politisi. Ingat, konspirasi global itu adalah fakta yang dari dulu sudah ada sejak mata uang dollar menjadi mata uang Internasional dan sejak berlakunya hak veto di PBB. Sudahilah cara pandang 'in watch looking'. mari kita buka cara pandang kebangsaan kita dengan 'All Out Looking'. Kritis bukan berarti benci dan menolak, tapi lebih dari itu semua, 'dapur' rumah tangga kita di rumah saat ini mulai terganggu disaat pasar dunia semakin liberal.  

Salam
MERDEKA 100%!








Minggu, 04 Mei 2014

Catatan : Korupsi Sebagai Bahaya Laten Yang Bersifat Sistemik

Pertama-tama yang terlebih dahulu harus difahami adalah korupsi bukanlah sekedar tindakan mencuri. Karena tidak ada tindakan korupsi yg dilakukkan tanpa persetujuan dari pihak lain, baik yang dikorupsi maupun yang melakukan korupsi.
Dengan kata lain korupsi selalu melibatkan sistem dan manusia secara bersamaan.
Artinya "Korupsi" selalu membutuhkan sistem, termasuk manusia yang akan menjalankannya dengan senang hati, tulus dan sesadar-sadarnya.

Sebagai contoh pada kasus "korupsi" daging sapi, korupsi disana direduksi menjadi permasalahan individual yaitu kerjaan segelintir "orang serakah dengan jubah ulama".
Di sini kemudian tuduhan korupsi tadi terasa personal dan menjadi ganjil.

Pertama dalam sistem perdagangan yang sifatnya kartel seperti daging sapi, maka para pedagang perlu menetapkan prices & level produksinya berdasarkan kompetitornya. Berapa jumlah produk yg dilepas kompetitor maka disana mereka baru menentukan batas profitnya. Itu karena permintaan tidak hanya ditentukkan oleh konsumen tetapi juga regulator seperti pemerintah, badan-kesehatan dll.. Sebab adanya trade barriers ini maka perusahaan perlu mengetahui apa yang tidak mereka ketahui berupa asymetric information, apakah akan ada UU baru atau tata kelola baru dalam perizinan atau tidak. Di sinilah kemudian birokrasi bermain dan private sektor pun bersiap dengan sogok, uang pelicin, uang bantuan perjalanan, dll demi memperoleh hak-hak eksklusif dari sertifikasi tadi.
Kedua, yang menjadi masalah adalah tidak semua orang paham bagaimana cara ini bekerja.Ketidaktahuan bagaimana "korupsi itu bekerja" yang kemudian melahirkan "pekerjaan-pekerja" berupa jasa informasi, jasa konsultasi, jasa pengawalan, jasa penghubung, jasa dengar, jasa komisi, & segala jasa yg memunculkan tokoh seperti; Fathonah, Nadzarudin, Gayus, Bunda Puteri, Punda Acih, Ayin, ayeng, Ayong, dst-dst sebagai para peluncur. Pada kasus MUI muncul nama AS an ES para broker yang menjadi penghubung luar & dalam.Mereka dibutuhkan itu karena memang ada kebutuhannya. Para Ulama, Ormas, Pejabat baru, atau klien-klien yang lugu. Sebab mereka buta dgn sistem birokrasi & bagaimana cara mereka mencetak, menyedot, menggeser, menggusur duit, yg sama sekali tdk terpikirkan.
Ketiga bahwa mereka punya jejaring dan keahlian. Pada kasus Fathanah dan Nazarudin misalnya kita melihat bahwa "para peluncur" ini bisa menyeret petinggi dan tokoh sekarismatik Lufti Hasan Ishak dari PKS, Anas dari Partai Demokrat dan sekarang ulama-ulama di MUI. Mereka mau menjadi kaki tangan dari ulama, politisi karena itulah pekerjaan mereka; membuat tangan orang lain bersih dan menjaga nama baik mereka-mereka yang dianggap berintegritas tinggi tetapi pada akhirnya harus menggunakan tangan "orang" seperti mereka untuk memeras.

Tidak mudah membayangkan punya pekerjaan sebagai 'peluncur' dan 'birokrat abdi dalam' ini karena mereka bekerja menetap di sana, sementara pejabat dan para politisi hanya sekedar mampir. Mereka faham bagaimana uang bisa dikeluarkan dari bisnis daging besar ini. Mereka sama sekali pun tak faham bagaimana melakukan deal-deal dengan private sector, apalagi di negeri orang.

Barangkali saja, orang seperti Lutfi Hasan Ishak dari PKS yang punya niat baik dengan menyederhanakan rantai birokrasi korupsi daging sapi, yang menurutnya merugikan konsumen. Tetapi ia sekali lagi mungkin terlalu lugu memahami jejaring kerja sistem yang masif dan laten (dan sudah terbentuk sejak masa orde-baru) dan akhirnya terjebak dengan "maaf", kasus yang aneh seperti urusan mobil, dan menikahi anak gadis ABG.

Di sini kemudian mengapa persoalan korupsi tidak dapat dilihat kasusnya orang per orang atau satu per dua lembaga apalagi menuduh si 'peluncur' sebagai pelaku-pelaku tunggal.

Jejaring kerjanya harus difahami dulu, betul-betul difahami, baru kita dapat melihat pola-pola transaksional tadi.
Sekian dan Terimakasih.
Merdeka !

Jumat, 16 Agustus 2013

MERDEKA atau TERJAJAH ?

Bangun tidur minum apa ? Aqua ? 74% sahamnya milik Danone perusahaan Perancis) atau
Teh Sariwangi (100% saham milik Unilever Inggris.)
gulanya jg impor (Gulaku - Malaysia).

Punya orok Minum susu SGM (milik Sari Husada yg 82% sahamnya dikuasai Numico Belanda).

Lalu mandi pakai sabun Lux. Gosok gigi dgn Pepsodent (Unilever,Inggris).

Sarapan ? Berasnya beras impor dari Thailand (BULOGpun impor),

Mau santai habis makan, rokoknya
Sampoerna (97% saham milik Philip Morris Amerika).

Keluar rumah naik motor/ mobil buatan Jepang, Cina,India, Eropa tinggal pilih.

Sampai kantor nyalain AC buatan Jepang, Korea, Cina.

Pakai komputer, hp (operator Indosat, XL,Telkomsel semuanya milik asing; Qatar, Singapura, Malaysia).

Mau belanja ke Giant, ternyata punya Dairy Farm International,Malaysia yg juga punya saham Hero.

Bangun rumah pake semen Tiga Roda Indocement sekarang milik Heidelberg (Jerman 61,70%). Semen
Gresik milik Cemex Meksiko, Semen Cibinong punyanya Holcim (Swiss).


Bagaimana dengan sektor keuangan? ternyata industri asuransi dikuasai asing. Sekitar 50% perusahaan asuransi jiwa dikuasai asing karena pemerintah dengan secara super liberal memberikan izin investor asing menguasai 80% saham perusahaan asuransi. Pasar modal juga dikuasai oleh investor asing sekitar 6-%-70% nya. demikian juga dengan saham BUMN yang telah go public 60% nya dipegang asing.
Bagaimana dengan perbankan?. Ternyata 15 bank yang menguasai pangsa pasar sebesar 85% telah dikuasai asing sebesar 50 %. Artinya asing menguasai industri perbankan kita. Demikian mudah dan murah membukan bank dinegara ini. Sementara dinegara lain setengah mati jika orang asing ingin buka bank dinegaranya. Kenapa? Karena mereka sadar bahwa perbankan dan keuangan adalah darah bagi tubuh negara mereka. Dikuasai asing berarti mereka terjajah dan menggadaikan negaranya kepada asing. Dinegara ini, pihak asing boleh menguasai 99% saham bank yang beroperasi di Indonesia. Sangat liberal sekali.
Contoh: Ambil uang di ATM BCA, Danamon,
BII, Bank Niaga dll ah semuanya sudah milik asing


Kita katanya kaya dengan minyak dan gas, namun apakah kita menguasai industri eksploitasi minyak dan gas dinegara sendiri? Apakah Pertamina menjadi tuan rumah dikampungnya sendiri? Ternyata tidak juga. porsi operator asing adalah 75% dan operator bangsa sendiri hanya 25% nya saja. Mereka semua berorientasi ekspor, maka tidak heran kalau kita kesulitan gas didalam negeri sendiri dan maha.l
-Tanah Papua yg kaya, sejak thn 1967 (era ORBA dimulai) dikeruk oleh PT Freeport (99% saham). Keuntungan utk RI hanya 1%.
-Produksi Pertamina sbnyak 1.3 jt barel per hari. Tp RI hanya bisa mengolah 300rb barel. 1jt barel dilakukan oleh asing.




Catatan:
Lalu apa makna kemerdekaan sebenarnya? Sementara 73% penguasaan hak hidup hajat orang banyak dikuasai oleh asing. Sadarkah kita disaat berteriak 'NKRI HARGA MATI' tetapi sebenarnya kita sedang dihabisi, di infiltrasi dan dikuasai oleh asing? Sedih rasa nya saat mengenang jasa para pahlawan yg telah gugur demi mempertahankan NKRI.
Kembalikan PANCASILA sebagai Ruh yg menjadi jiwa dlm sendi2 kehidupan Bangsa. Kembalikan UUD 45 Amandemen khususnya pasal 33 kepada teks asli, krn sdh sangat jelas UUD '45 Amandemen adalah membuka ruang Imperialisme.
Mari Bung Rebut Kembali apa yang menjadi Hak Bangsa  ini untuk Berdaulat di negeri nya sendiri. 
SALAM KU UNTUK SELURUH ANAK NEGERI YG MASIH PEDULI !

NB: Maaf tidak ada kebencian sedikitpun terhadap merk dagang yang disebut diatas.